I LA GALIGO JILID XI
I.
CERITA
TENTANG I LA GALIGO JILID XI
1. Sawerigading
memboyong istrinya I We Cimpau ke Mallimongeng atas saran kakaknya La
Pananrang. Sementara itu ia masih menjalani tugasnya sebagai suami I We Cudai
yang menemuinya di malam hari saja, menjelang dini hari ia pun kembali ke I We
Cimpau.
2. Selama
tiga bulan Sawerigading melakoni peran sebagai suami orang Senrijawa di dalam
bilik I We Cudai. Pada suatu malam, Sawerigading mengetahui kehamilan I We
Cimpau. Sejak saat itu, Sawerigading tidak pernah lagi menemui I We Cudai di
Latane. Sementara I We Cimpau menikmati masa-masa nidamnya sambil di damping
sang suami, I We Cudai juga mulai merasakan ngidam yang sangat berat.
3. Tiga
bulan setelah I We Cimpau melahirkan seorang putrid yang diberi nama We
Makkawaru, datanglah We Tenriabeng menyampaikan berita kehamilan I We Cudai
yang menurut sepengetahuannya tidak pernah disentuh oleh laki-laki.
Sawerigading kemudian mengaku bahwa dia setiap malam menjumpai I We Cudai tanpa
diketahui oleh penghuni istana.
4. Ketika
I We Cudai akan melahirkan, ia sangat tersiksa dan nyaris tidak dapat
melahirkan dengan selamat. Tiba-tiba dukun istana yang membantu persalinannya
mendapat wangsit dai Bottilangi, yang menyuruh I We Cudai meminta maaf kepada
Sawerigading dan I We Cimpau kemudian keduanya harus memohon kepada leluhur
Sawerigading yang tidak senang atas perlakuan I We Cudai yang sombong dan
menhina Sang Hyang Bottilangi.
5. Setelah
Sawerigading memohonkan ampun kepada para leluhurnya, akhirnya putranya pun
lahir dengan selamat. Namun kesombongan I We Cudai tidak juga berakhir, bayi
yang dilahirkannya dengan susah payah itu ditolaknya. Bayi tersebut kemudian
diberi nama I La Galigo yang ekhirnya di bawa oleh Sawerigading ke Mario dan
dibesarkan oleh I We Cimpau bersama putrinya.
6. Setelah
usia I La Galigo menginjak tiga bulan, diadakanlah upacara naik di ayunan
manurung untuknya. Sampai pada suatu hari para putra raja segera dikumpulkan di
istana untuk melatih I La Galigo menyabung di tengah istana. Pada suatu
kesempatan sang inang emalporkan tingkah laku I La Galigo yang merengek
diizinkan turun ke gelanggang untuk menyabung, anmun mereka belum mengizinkan
karena belum dilaksanakan upacara raga-raga I La Galigo.
7. Ketika
diadakan upacara naik raga-raga I La
Galigo, Sawerigading mengundang semua sepupunya dan seluruh anak raja
pendamping yang ada di kolong langit. Pada saat itulah para sepepenya
menegtahui keadaannya yang telah bermukim di Cina. Mereka pun sangat kecewa,
sebab mereka tidak diberi kabar sebelumnya.
8. I
We Cudai yang sangat ingin bertemu dengan anaknya mengadakan sabungan di Cina,
sehingga seluruh penyabung berkumpul meramaikannya, tak ketinggalan putra dan
suaminya. I We Cudai mengutus orang untuk mempersilahkan Sawerigading dan
putranya naik ke istana, namun Sawerigading menolaknya. Namun pada akhirnya dia
bersedia naik dengan putranya yang segera digendong oleh I We Cudai masuk ke
dalam istana.
9. Pertemuan
Sawerigading dan I We Cudai membuat Sawerigading tidak bisa meninggalkan
istrinya lagi dan kemesraan mereka kembali terjalin. Pada suatu ketika, I We
Cudai yang dibakar cemburu kepada I We Cimpau karena Sawerigading menceritakan
kebahagiaannya dengan I We Cimpau. I We Cudai pun memanggil I We Cimpau ke
Latanete dan ingin membunuhnya, namun keinginannya itu dihalangi oleh putranya
sendiri. I lA Galigo sangat marah, karena baginya I We Cimpau menyayanginya
melebihi ibu kandungnya.
II.
ANALISIS
STRUKTURAL DAN INTERPRETASI
Setelah
kita membaca mitos tersebut maka langkah selanjutnya adalah menganalisisnya dan
menginterpretasikannya. Sebagaimana yang telah dibahas, bahwa mitos ini akan
dianalisis dengan mengikuti cara Levi-Straus dalam menganalisis mitos.
Levi-Strausmenganggap bahwa mitos dapat diamsukkan dalam kategori bahasa,
akrena mitos memiliki pesan. Dalam referensi lain dikatakan bahwa apada masa
lampau, mitos bukanlah sekedar dongeng, tapi nalar sebuah pengetahuan. Sebagai
langkah awal dalam menganalisis mitos ini, akan dipenggal, kemudian dari
penggalan ini akan ditentukan relasi yang tergabung akan diinterpretasi,
sehingga terlihat makna yang teersembunyi dibalik mitos ini.
EPISODE I
a. I
We Cimpau
Bagian
ini meceritakan bahwa Sawerigading memboyong istri keduanya yang bernama I We
Cimpau di Mallimongeng atas saran kakaknya La Pananrang. Pada suatu malam
Sawerigading mengetahui bahwa I We Cimpau akhirnya hamil. I We Cimpau menikmati
masa-masa kehamilannya dengan didampingi oleh sang suami. Proses tersebut cukup
sulit, walaupun Sawerigading dan
penghuni istana yang lain telah bernazar dan telah memberikan hadiah
yang bermacam-macam, namun bayi yang ditunggu-tunggu itu pun belum lahir.
Setelah Sawerigading memohon kepada bayinya agar segera keluar sambil
memberikan hamba dewa yang diturunkan oleh bibinya beserta pelayan-pelayan
laki-laki dan perempuan dan orang dalam pembawa kipas, barulah sang bayi
meluncur keluar dari rahim.
b. I
We Cudai
Bagian
ini menjelaskan bahwa meski Sawerigading hidup bersama I We Cimpau di
Mallimongeng, namun setiap hari ketika hari mulai malam, Sawerigading menemui
istri pertamanya yaitu I We Cudai di istana Latanete tanpa diketahui oleh para
penghuni istana Latanete yang lain. Pada suatu hari, Opunna Cina, ayah dari Iwe
Cudai mengunjungi Sawerigading di istana Mallimongeng dan meceritakan bahwa I
We Cudai hamil dan merasa ngidam yang sangat berat padahal sepengetahuannya dia
tidak pernah disentuh oleh laki-laki. Sawerigading pun menjelaskan semuanya
pada Opunna Cina yang akhirnya membuatnya menjadi tenang. Sawerigading kemudian
memerintahkan La Dunrussereng dan kelompoknya untuk memenuhi segala apa yang
sedang dingidamkan oleh I We Cudai. Kesakitan I We Cudai saat akan melahirkan dirasakannya seorang
diri tanpa dampingan seorang suami. Karena rasa sakit I We Cudai semakin
menjadi-jadi, We Tenriabang pun menyampaikan keadaan I We Cudai pada
Sawerigading. Jika ingin selamat, I We Cudai harus meminta maaf pada
Sawerigading dan I We Cimpau dan mereka berdua harus memohonkan ampun
untuknya kepada para nenek Sawerigading.
Setelah Sawerigading memohon hati To Panroe pun terenyuh, ia meminta kepada
sang istri agar menhentikan kemarahannya. I We Cudai pun kembali mengejan
setelah Sawerigading memohon kepada bayinya untuk keluar dari rahim ibunya,
akhirnya bayi itupun keluar.
I
We Cimpau ®
istri kedua Sawerigading ® hamil ® didampingi
suami ®
melahirkan dengan cukup mudah ® lahir bayi perempuan.
I
We Cudai ®
istri pertama Sawerigading ® hamil ® tidak
didampingi suami ® harus meminta maaf baru dapat
melahirkan ®
lahir bayi laki-laki.
EPISODE II
a. We
Makkawaru
Bagian
ini mendeskripsikan We Makkawaru yang merupakan anak pertama Sawerigading, yang
kelahirannya disambut hangat oleh kedua orang tuanyadan sangat disayang oleh keduanya.
b. I
La Galigo
Bagian
ini menceritakan I La Galigo yang setelah dilahirkan, ditolak oleh ibu
kandungnya dan bahkan akan dihanyutkan ke laut. Bayi tersebut kemudian dibawa
oleh Sawerigading ke Mario yang disambut baik oleh ibu tirinya.
We
Makkawaru ®
putri Sawerigading dari I We Cimpau ® disayang kedua
orang tua.
I
La Galigo ®
putra Sawerigading dari I We Cudai® ingin dibuang
oleh ibu tapi dipelihara oleh ayah dan ibu tiri.
III.
INTERPRETASI
MAKNA
Dalam
cerita ini kita dapat melihat bahwa kesombongan dan keangkuhan dapat membuat
seseorang menderita. Betapa bahayanya jika seseorang tidak mau mengakui
kesalahannya dan tetap sombong. Dia akan dijauhi dan ditinggalkan oleh
orang-orang yang disayangi dan dicintainya. Bahkan, karena kesombongan dan
tidak mau mengakui kesalahan, kesenangan yang seharusnya menjadi miliknya akan
ikut hilang atau akan dinokmati oleh orang lain.
Kisah
I We Cudai yang angkuh dan malu mengakui kesalahannya dapat membuat kita
menjadi lebih rendah hati, mensyukuri apa yang telah kita peroleh, dan
menyayangi serta melindungi orang-orang yang kita sayangi dan apa-apa yang
telah kita miliki agar tidak kehilangan mereka pada akhirnya.
IV.
PENDAPAT
PARA AHLI TENTANG I LA GALIGO
Untuk menelusuri jejak I La Galigo, saya
tetap bersandar pada beberapa pustaka yang relevan dalam penulisan ini, namun
tidak juga hanya mengandalkan suatu keyakinan objektif untuk memperkaya
khazanah mitos I La Galigo, sehingga saya dituntut melibatkan beberapa
keterangan pakar yang dinilai mampu melihat mitos ini dari perspektif keilmuan
mereka. Diantaranya ialah Idwar Anwar yang merupakan sekretaris Festival dan Seminar Internasional La Galigo
Pusat Kegiatan Penelitian Unhas dan merupakan Ketua Komunitas Penulis
Pinggiran yang menyatakan dalam salah satu artikelnya bahwa Masyarakat Bugis
pada dasarnya merupakan sebuah komunitas yang mempunyai etos kerja dan struktur
masyarakat yang spesifik. Dan akar kebudayaan ini masih dapat ditelusuri
jejak-jejaknya dari zaman lampau sampai sekarang. Hal ini antara lain dapat
ditemukan pada peninggalan–peninggalan tertulis yang tertuang di dalam berbagai
naskah, salah satunya yakni La Galigo. Sebagai sebuah karya, banyak yang
melihat La Galigo dalam berbagai perspektif, antara lain sebagai karya sastra
bahkan ada juga yang menganggapnya sebuah tulisan sejarah, meski ada pula yang
menolaknya. Namun terlepas dari semuaya, La Galigo telah menempatkan
dirinya sebagai sebuah karya yang menjadi pedoman hidup sebuah komunitas
masyarakat yang hidup sampai saat ini. Sebagai karya sastra, La Galigo memiliki
konvensi-konvensi yang terealisasi dalam estetika dan muatan etikanya.
Keindahannya La Galigo termanifestasi pada konvensi bahasa, sastra, metrum
serta alurnya. Isinya meliputi berbagai macam sumber tradisi, norma-norma,
serta konsep-konsep kehidupan masyarakatnya. Peristiwa-peristiwa dan
tokoh-tokoh dalam La Galigo bagaikan suatu pertunjukan tentang suasana
kehidupan manusia Bugis beserta aktifitas sosial dan kulturalnya pada suatu
zaman. Kenyataan ini menandakan bahwa La Galigo di samping fungsinya sebagai
karya sastra yang memiliki estetika yang tinggi, juga mempunyai kemanfaatan
sebagai sarana kebudayaan untuk kehidupan kemanusiaan. Sebab La Galigo telah
berfungsi sebagai realitas baru yang dianggap ideal yang dapat dijadikan
pegangan dalam kehidupan oleh masyarakatnya.
R.A. Kern dalam bukunya Catalogus van
de Boegineesche tot de I La Galigocyclus Behoorende Handschriften der Leidsche
Universiteitbibliotheek yang diterbitkan oleh
Universiteitbibliotheek Leiden (1939 : 1) menempatkan La
Galigo sebagai karya sastra terpanjang dan terbesar di dunia setaraf dengan
kitab Mahabarata dan Ramayana dari India, serta sajak-sajak Homerus dari
Yunani. Kenyataan ini pula diungkapkan Sirtjof Koolhof pada
pengantarnya dalam buku I
La Galigo yang diterbitkan atas kerjasama Koninklijk Instituut voor Taal-,
Land- en Volkenkunde (KITLV) dan Penerbit Djambatan. (1995 : 1) mencapai
lebih 300.000 baris panjangnya. Sementara Epos Mahabarata jumlah barisnya hanya
antara 160.000-200.000 halaman.
Keunggulan La Galigo sebagai karya sastra bukan hanya dalam
bentuk tulisan, namun juga telah menyebar dalm bentuk lisan ke berbagai daerah,
sebab terbukti tokoh utama dalam La Galigo, Sawerigading, secara mitologis
dikenal pada berbagai etnik di Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia.
Karena itu, menurut Nurhayati Rahman dalam disertasinya Sompeqna
Sawerigading Lao Ri Tana Cina: Analisis Filologi dan Semiotik I La Galigo
karya La Galigo benar-benar telah menempatkan dirnya menjadi karya sastra yang
mampu merefleksikan dirinya dan menghegemoni dalam masyarakat.
V.
HIKMAH
DI BALIK KEJADIAN
Allah
SWT selalu mengingatkan kita untuk tidak berlaku sombong dan senantiasa rendah
hati. Sikap sombong dan angkuh serta tidak mau mengakui kesalahan sangat
merugikan. Kebanyakan dari orang yang memiliki sifat tersebut akan diajuhi oleh
orang-orang disekitarnya bahkan akan jauh dengan orang-orang yang disayanginya.
Kita tidak akan dapat hidup berdampingan dengan nyaman bersamaorang-orang yang
memiliki sifat-sifat tersebut, karena mereka hanya mementingkan diri sendiri
dan memiliki ego yang besar, serta kebanyakan dari mereka tidak peduli dengan
apa yang ada disekitarnya. Seperti halnya yang terjadi pada I We Cudai. Dia
akhirnya kehilangan kedudukannya, kasih sayang seorang suami, dan kehilangan
anaknya akibat sifatnya tersebut. Kenikmatan tersebut malah menjadi milik I We
Cimpau yang rendah hati dan baik. Bahkan anak kandung I We Cudai yaitu I La
Galigo lebih memilih ibu tirinya dari pada ibu kandungnya, karena sang ibu
tirilah yang merawatnya sejak kecil.
Dalam
kisah ini kita juga dapat mengambil suatu pelajaran bahwa tidak selamanya ibu
tiri itu berlaku jahat terhadap anak tirinya. Seperti yang dilakukan oleh I We
Cimpau terhadap I La Galigo, dia sama sekali tidak membedakan kapasitas kasih
sayang yang diberikannya pada anak kandungnya yaitu We Makkawaru dengan anak
tirinya I La Galigo. Begitupun sebaliknya, I La galigo yang merupakan anak tiri
I We Cimpau, senantiasa tetap melindungi ibu tirinya saat ibu kandungnya ingin
membunuh ibu tirinya.
Pelajaran
lain yang dapat diambil adalah bahwa sifat dan sikap jahat dalam bentuk apapun
akan segera mendapat ganjarannya.
VI.
Kesimpulan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar