Kamis, 14 Juni 2012

I La Galigo Jilid XI: ANALISIS STRUKTURAL DAN INTERPRETASI Dengan Mengikuti Cara Levi-Straus


I LA GALIGO JILID XI

       I.            CERITA TENTANG I LA GALIGO JILID XI
1.      Sawerigading memboyong istrinya I We Cimpau ke Mallimongeng atas saran kakaknya La Pananrang. Sementara itu ia masih menjalani tugasnya sebagai suami I We Cudai yang menemuinya di malam hari saja, menjelang dini hari ia pun kembali ke I We Cimpau.
2.      Selama tiga bulan Sawerigading melakoni peran sebagai suami orang Senrijawa di dalam bilik I We Cudai. Pada suatu malam, Sawerigading mengetahui kehamilan I We Cimpau. Sejak saat itu, Sawerigading tidak pernah lagi menemui I We Cudai di Latane. Sementara I We Cimpau menikmati masa-masa nidamnya sambil di damping sang suami, I We Cudai juga mulai merasakan ngidam yang sangat berat.
3.      Tiga bulan setelah I We Cimpau melahirkan seorang putrid yang diberi nama We Makkawaru, datanglah We Tenriabeng menyampaikan berita kehamilan I We Cudai yang menurut sepengetahuannya tidak pernah disentuh oleh laki-laki. Sawerigading kemudian mengaku bahwa dia setiap malam menjumpai I We Cudai tanpa diketahui oleh penghuni istana.
4.      Ketika I We Cudai akan melahirkan, ia sangat tersiksa dan nyaris tidak dapat melahirkan dengan selamat. Tiba-tiba dukun istana yang membantu persalinannya mendapat wangsit dai Bottilangi, yang menyuruh I We Cudai meminta maaf kepada Sawerigading dan I We Cimpau kemudian keduanya harus memohon kepada leluhur Sawerigading yang tidak senang atas perlakuan I We Cudai yang sombong dan menhina Sang Hyang Bottilangi.
5.      Setelah Sawerigading memohonkan ampun kepada para leluhurnya, akhirnya putranya pun lahir dengan selamat. Namun kesombongan I We Cudai tidak juga berakhir, bayi yang dilahirkannya dengan susah payah itu ditolaknya. Bayi tersebut kemudian diberi nama I La Galigo yang ekhirnya di bawa oleh Sawerigading ke Mario dan dibesarkan oleh I We Cimpau bersama putrinya.
6.      Setelah usia I La Galigo menginjak tiga bulan, diadakanlah upacara naik di ayunan manurung untuknya. Sampai pada suatu hari para putra raja segera dikumpulkan di istana untuk melatih I La Galigo menyabung di tengah istana. Pada suatu kesempatan sang inang emalporkan tingkah laku I La Galigo yang merengek diizinkan turun ke gelanggang untuk menyabung, anmun mereka belum mengizinkan karena belum dilaksanakan upacara raga-raga I La Galigo.
7.      Ketika diadakan  upacara naik raga-raga I La Galigo, Sawerigading mengundang semua sepupunya dan seluruh anak raja pendamping yang ada di kolong langit. Pada saat itulah para sepepenya menegtahui keadaannya yang telah bermukim di Cina. Mereka pun sangat kecewa, sebab mereka tidak diberi kabar sebelumnya.
8.      I We Cudai yang sangat ingin bertemu dengan anaknya mengadakan sabungan di Cina, sehingga seluruh penyabung berkumpul meramaikannya, tak ketinggalan putra dan suaminya. I We Cudai mengutus orang untuk mempersilahkan Sawerigading dan putranya naik ke istana, namun Sawerigading menolaknya. Namun pada akhirnya dia bersedia naik dengan putranya yang segera digendong oleh I We Cudai masuk ke dalam istana.
9.      Pertemuan Sawerigading dan I We Cudai membuat Sawerigading tidak bisa meninggalkan istrinya lagi dan kemesraan mereka kembali terjalin. Pada suatu ketika, I We Cudai yang dibakar cemburu kepada I We Cimpau karena Sawerigading menceritakan kebahagiaannya dengan I We Cimpau. I We Cudai pun memanggil I We Cimpau ke Latanete dan ingin membunuhnya, namun keinginannya itu dihalangi oleh putranya sendiri. I lA Galigo sangat marah, karena baginya I We Cimpau menyayanginya melebihi ibu kandungnya.
    II.            ANALISIS STRUKTURAL DAN INTERPRETASI
Setelah kita membaca mitos tersebut maka langkah selanjutnya adalah menganalisisnya dan menginterpretasikannya. Sebagaimana yang telah dibahas, bahwa mitos ini akan dianalisis dengan mengikuti cara Levi-Straus dalam menganalisis mitos. Levi-Strausmenganggap bahwa mitos dapat diamsukkan dalam kategori bahasa, akrena mitos memiliki pesan. Dalam referensi lain dikatakan bahwa apada masa lampau, mitos bukanlah sekedar dongeng, tapi nalar sebuah pengetahuan. Sebagai langkah awal dalam menganalisis mitos ini, akan dipenggal, kemudian dari penggalan ini akan ditentukan relasi yang tergabung akan diinterpretasi, sehingga terlihat makna yang teersembunyi dibalik mitos ini.
EPISODE I
a.       I We Cimpau
Bagian ini meceritakan bahwa Sawerigading memboyong istri keduanya yang bernama I We Cimpau di Mallimongeng atas saran kakaknya La Pananrang. Pada suatu malam Sawerigading mengetahui bahwa I We Cimpau akhirnya hamil. I We Cimpau menikmati masa-masa kehamilannya dengan didampingi oleh sang suami. Proses tersebut cukup sulit, walaupun Sawerigading dan  penghuni istana yang lain telah bernazar dan telah memberikan hadiah yang bermacam-macam, namun bayi yang ditunggu-tunggu itu pun belum lahir. Setelah Sawerigading memohon kepada bayinya agar segera keluar sambil memberikan hamba dewa yang diturunkan oleh bibinya beserta pelayan-pelayan laki-laki dan perempuan dan orang dalam pembawa kipas, barulah sang bayi meluncur keluar dari rahim.
b.      I We Cudai
Bagian ini menjelaskan bahwa meski Sawerigading hidup bersama I We Cimpau di Mallimongeng, namun setiap hari ketika hari mulai malam, Sawerigading menemui istri pertamanya yaitu I We Cudai di istana Latanete tanpa diketahui oleh para penghuni istana Latanete yang lain. Pada suatu hari, Opunna Cina, ayah dari Iwe Cudai mengunjungi Sawerigading di istana Mallimongeng dan meceritakan bahwa I We Cudai hamil dan merasa ngidam yang sangat berat padahal sepengetahuannya dia tidak pernah disentuh oleh laki-laki. Sawerigading pun menjelaskan semuanya pada Opunna Cina yang akhirnya membuatnya menjadi tenang. Sawerigading kemudian memerintahkan La Dunrussereng dan kelompoknya untuk memenuhi segala apa yang sedang dingidamkan oleh I We Cudai. Kesakitan I We Cudai  saat akan melahirkan dirasakannya seorang diri tanpa dampingan seorang suami. Karena rasa sakit I We Cudai semakin menjadi-jadi, We Tenriabang pun menyampaikan keadaan I We Cudai pada Sawerigading. Jika ingin selamat, I We Cudai harus meminta maaf pada Sawerigading dan I We Cimpau dan mereka berdua harus memohonkan ampun untuknya  kepada para nenek Sawerigading. Setelah Sawerigading memohon hati To Panroe pun terenyuh, ia meminta kepada sang istri agar menhentikan kemarahannya. I We Cudai pun kembali mengejan setelah Sawerigading memohon kepada bayinya untuk keluar dari rahim ibunya, akhirnya bayi itupun keluar.

I We Cimpau ® istri kedua Sawerigading ® hamil ® didampingi suami ® melahirkan dengan cukup mudah ® lahir bayi perempuan.

I We Cudai ® istri pertama Sawerigading ® hamil ® tidak didampingi suami ® harus meminta maaf baru dapat melahirkan ® lahir bayi laki-laki.
EPISODE II
a.       We Makkawaru
Bagian ini mendeskripsikan We Makkawaru yang merupakan anak pertama Sawerigading, yang kelahirannya disambut hangat oleh kedua orang tuanyadan  sangat disayang oleh keduanya.
b.      I La Galigo
Bagian ini menceritakan I La Galigo yang setelah dilahirkan, ditolak oleh ibu kandungnya dan bahkan akan dihanyutkan ke laut. Bayi tersebut kemudian dibawa oleh Sawerigading ke Mario yang disambut baik oleh ibu tirinya.

We Makkawaru ® putri Sawerigading dari I We Cimpau ® disayang kedua orang tua.
I La Galigo ® putra Sawerigading dari I We Cudai® ingin dibuang oleh ibu tapi dipelihara oleh ayah dan ibu tiri.
 III.            INTERPRETASI MAKNA
Dalam cerita ini kita dapat melihat bahwa kesombongan dan keangkuhan dapat membuat seseorang menderita. Betapa bahayanya jika seseorang tidak mau mengakui kesalahannya dan tetap sombong. Dia akan dijauhi dan ditinggalkan oleh orang-orang yang disayangi dan dicintainya. Bahkan, karena kesombongan dan tidak mau mengakui kesalahan, kesenangan yang seharusnya menjadi miliknya akan ikut hilang atau akan dinokmati oleh orang lain.
Kisah I We Cudai yang angkuh dan malu mengakui kesalahannya dapat membuat kita menjadi lebih rendah hati, mensyukuri apa yang telah kita peroleh, dan menyayangi serta melindungi orang-orang yang kita sayangi dan apa-apa yang telah kita miliki agar tidak kehilangan mereka pada akhirnya.
 IV.            PENDAPAT PARA AHLI TENTANG I LA GALIGO
Untuk menelusuri jejak I La Galigo, saya tetap bersandar pada beberapa pustaka yang relevan dalam penulisan ini, namun tidak juga hanya mengandalkan suatu keyakinan objektif untuk memperkaya khazanah mitos I La Galigo, sehingga saya dituntut melibatkan beberapa keterangan pakar yang dinilai mampu melihat mitos ini dari perspektif keilmuan mereka. Diantaranya ialah Idwar Anwar yang merupakan sekretaris Festival dan Seminar Internasional La Galigo Pusat Kegiatan Penelitian Unhas dan merupakan Ketua Komunitas Penulis Pinggiran yang menyatakan dalam salah satu artikelnya bahwa Masyarakat Bugis pada dasarnya merupakan sebuah komunitas yang mempunyai etos kerja dan struktur masyarakat yang spesifik. Dan akar kebudayaan ini masih dapat ditelusuri jejak-jejaknya dari zaman lampau sampai sekarang. Hal ini antara lain dapat ditemukan pada peninggalan–peninggalan tertulis yang tertuang di dalam berbagai naskah, salah satunya yakni La Galigo. Sebagai sebuah karya, banyak yang melihat La Galigo dalam berbagai perspektif, antara lain sebagai karya sastra bahkan ada juga yang menganggapnya sebuah tulisan sejarah, meski ada pula yang menolaknya.  Namun terlepas dari semuaya, La Galigo telah menempatkan dirinya sebagai sebuah karya yang menjadi pedoman hidup sebuah komunitas masyarakat yang hidup sampai saat ini. Sebagai karya sastra, La Galigo memiliki konvensi-konvensi yang terealisasi dalam estetika dan muatan etikanya. Keindahannya La Galigo termanifestasi pada konvensi bahasa, sastra, metrum serta alurnya. Isinya meliputi berbagai macam sumber tradisi, norma-norma, serta konsep-konsep kehidupan masyarakatnya. Peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh dalam La Galigo bagaikan suatu pertunjukan tentang suasana kehidupan manusia Bugis beserta aktifitas sosial dan kulturalnya pada suatu zaman. Kenyataan ini menandakan bahwa La Galigo di samping fungsinya sebagai karya sastra yang memiliki estetika yang tinggi, juga mempunyai kemanfaatan sebagai sarana kebudayaan untuk kehidupan kemanusiaan. Sebab La Galigo telah berfungsi sebagai realitas baru yang dianggap ideal yang dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan oleh masyarakatnya. 
R.A. Kern dalam bukunya Catalogus van de Boegineesche tot de I La Galigocyclus Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteitbibliotheek yang diterbitkan  oleh  Universiteitbibliotheek Leiden (1939 : 1) menempatkan La Galigo sebagai karya sastra terpanjang dan terbesar di dunia setaraf dengan kitab Mahabarata dan Ramayana dari  India, serta sajak-sajak Homerus dari Yunani­. Kenyataan ini pula diungkapkan Sirtjof Koolhof  pada pengantarnya dalam buku I La Galigo yang diterbitkan atas kerjasama Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) dan Penerbit Djambatan. (1995 : 1) mencapai lebih 300.000 baris panjangnya. Sementara Epos Mahabarata jumlah barisnya hanya antara 160.000-200.000 halaman.
Keunggulan La Galigo sebagai karya sastra bukan hanya dalam bentuk tulisan, namun juga telah menyebar dalm bentuk lisan ke berbagai daerah, sebab terbukti tokoh utama dalam La Galigo, Sawerigading, secara mitologis dikenal pada berbagai etnik di Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia. Karena itu, menurut Nurhayati Rahman dalam disertasinya  Sompeqna Sawerigading Lao Ri Tana Cina: Analisis Filologi dan Semiotik I La Galigo karya La Galigo benar-benar telah menempatkan dirnya menjadi karya sastra yang mampu merefleksikan dirinya dan menghegemoni dalam masyarakat. 
    V.            HIKMAH DI BALIK KEJADIAN
Allah SWT selalu mengingatkan kita untuk tidak berlaku sombong dan senantiasa rendah hati. Sikap sombong dan angkuh serta tidak mau mengakui kesalahan sangat merugikan. Kebanyakan dari orang yang memiliki sifat tersebut akan diajuhi oleh orang-orang disekitarnya bahkan akan jauh dengan orang-orang yang disayanginya. Kita tidak akan dapat hidup berdampingan dengan nyaman bersamaorang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut, karena mereka hanya mementingkan diri sendiri dan memiliki ego yang besar, serta kebanyakan dari mereka tidak peduli dengan apa yang ada disekitarnya. Seperti halnya yang terjadi pada I We Cudai. Dia akhirnya kehilangan kedudukannya, kasih sayang seorang suami, dan kehilangan anaknya akibat sifatnya tersebut. Kenikmatan tersebut malah menjadi milik I We Cimpau yang rendah hati dan baik. Bahkan anak kandung I We Cudai yaitu I La Galigo lebih memilih ibu tirinya dari pada ibu kandungnya, karena sang ibu tirilah yang merawatnya sejak kecil.
Dalam kisah ini kita juga dapat mengambil suatu pelajaran bahwa tidak selamanya ibu tiri itu berlaku jahat terhadap anak tirinya. Seperti yang dilakukan oleh I We Cimpau terhadap I La Galigo, dia sama sekali tidak membedakan kapasitas kasih sayang yang diberikannya pada anak kandungnya yaitu We Makkawaru dengan anak tirinya I La Galigo. Begitupun sebaliknya, I La galigo yang merupakan anak tiri I We Cimpau, senantiasa tetap melindungi ibu tirinya saat ibu kandungnya ingin membunuh ibu tirinya.
Pelajaran lain yang dapat diambil adalah bahwa sifat dan sikap jahat dalam bentuk apapun akan segera mendapat ganjarannya.
 VI.            Kesimpulan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar