Jenis-Jenis Puisi
A. Jenis-Jenis Puisi Lama
Puisi lama yakni puisi yang terikat oleh
berbagai aturan, seperti jumlah kata dalam satu barisnya, jumlah baris dalam
satu baitnya, persanjakan atau rima, banyaknya suku kata dalam tiap baris, dan
irama. Sedangkan puisi baru tidak terlalu mementingkan aturan-aturan tadi.
Dengan kata lain sudah bebas dari aturan, namun tetap bernilai seni.
Sebagai salah satu bentuk karya
sastra, baik puisi lama maupun puisi baru memiliki dua fungsi, yakni sebagai
sebuah karya sastra itu sendiri dan sebagai alat yang memiliki manfaat praktis
bagi pengarangnya. Nah, dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas tentang
segala hal yang berhubungan dengan materi puisi lama berikut pembagian jenis-jenis dan ciri-ciri yang
dimiliki puisi lama.
Jenis-jenis Puisi Lama Beserta Cirinya
Puisi
lama terdiri atas beberapa jenis, yakni sebagai berikut.
1. Puisi Lama - Mantra
Mantra merupakan salah satu jenis
puisi lama yang paling tua. Awalnya, keberadaan puisi lama ini dalam masyarakat
Melayu bukanlah difungsikan sebagai sebuah karya sastra, melainkan
lebih kepada adat dan kepercayaan masyarakat setempat.
Ciri-ciri
puisi lama bernama Mantra, di antaranya sebagai berikut.
·
Berirama
akhir abc-abc, abcd-abcd, abcde-abcde
·
Perulangan
dan metafora merupakan unsur yang penting
Kejang
aku kejang rungkup
Kejang tunjang tengah laman
Kebal aku kebal tutup
Terkucap kulit tak berjalan
Terkunci terkancing tak mara
Hai hai, anak datuk laut
Nyalah engkau, pergilah
Jikalau engkau tidak pergi
Aku pukul dengan ijuk tunggal
Dengan ijuk pusaka
Aku sekal kepalamu
Kejang tunjang tengah laman
Kebal aku kebal tutup
Terkucap kulit tak berjalan
Terkunci terkancing tak mara
Hai hai, anak datuk laut
Nyalah engkau, pergilah
Jikalau engkau tidak pergi
Aku pukul dengan ijuk tunggal
Dengan ijuk pusaka
Aku sekal kepalamu
Hai
si jambu rakai
Sambutlah
Pekiriman putri
Runduk di gunung
Ledang
Embacang masak sebiji bulat
Penyikat tujuh penyikat
Pengarang tujuh pengarang
Diorak dikembang jangan
Kalau kau sambut
Dua hari jalan ketiga
Ke darat kau dapat makan
E laut kau dapat aku
Aku tau asal kau jadi
Tanah liat asl kau jadi
Darah kau gila, dada kau upih
Sambutlah
Pekiriman putri
Runduk di gunung
Ledang
Embacang masak sebiji bulat
Penyikat tujuh penyikat
Pengarang tujuh pengarang
Diorak dikembang jangan
Kalau kau sambut
Dua hari jalan ketiga
Ke darat kau dapat makan
E laut kau dapat aku
Aku tau asal kau jadi
Tanah liat asl kau jadi
Darah kau gila, dada kau upih
2. Puisi Lama - Gurindam
Gurindam merupakan puisi lama yang
sebenarnya bukan berasal dari negeri sendiri, melainkan dari negeri
India yang dibawa pasukan Tamil yang dahulu pernah singgah dan menetap di salah
satu kepulauan Nusantara.
Ciri-ciri
puisi lama bernama Gurindam, di antaranya sebagai berikut.
·
Baris
kedua gurindam merupakan jawaban atau akibat dari perjanjian atau masalah yang
dibuat di baris pertama
Raja
Ali Haji adalah pengarang gurindam yang terkenal dan Gurindam Dua Belas
adalah karyanya yang sangat terkenal.
Ini
gurindam pasal yang pertama.
Barang
siapa tiada memegang agama,
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,
maka ia itulah orang ma'rifat
Barang siapa mengenal Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari.
Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang terpedaya.
Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah ia dunia mudarat.
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,
maka ia itulah orang ma'rifat
Barang siapa mengenal Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari.
Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang terpedaya.
Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah ia dunia mudarat.
3. Puisi Lama - Syair
Seperti halnya Gurindam, Syair
merupakan puisi lama dan salah satu karya sastra yang bukan berasal dari tanah nusantara asli. Puisi lama ini merupakan
sebuah karya sastra yang awalnya dibawa oleh bangsa Arab ke Nusantara saat era
perkembangan agama Islam.
Ciri-ciri
Syair, di antaranya sebagai berikut.
·
Terdiri
atas 4 baris
·
Berima
a-a-a-a
Berikut
ini contoh syair-syair terkenal.
Syair Ken Tambuhan
Syair Ken Tambuhan
Lalulah
berjalan Ken Tambuhan
diiringkah penglipur dengan tadahan
lemah lembut berjalan pelahan-lahan
lakunya manis memberi kasihan
Tunduk menangis segala puteri
Masing-masing berkata sama sendiri
Jahatnya perangai permaisuri
Lakunya seperti jin dan peri
Syair Johan Malikan koleksi Muhammad Jufri Cek Jon
diiringkah penglipur dengan tadahan
lemah lembut berjalan pelahan-lahan
lakunya manis memberi kasihan
Tunduk menangis segala puteri
Masing-masing berkata sama sendiri
Jahatnya perangai permaisuri
Lakunya seperti jin dan peri
Syair Johan Malikan koleksi Muhammad Jufri Cek Jon
Harganya
murah ayuhai akhwan
tawar menawar boleh ketahuan
tiadalah tinggi wahai bangsawan
dengan yang patut Tuan tawarkan
Adat berniaga demikian itulah
tawar menawar bukanlah salah
dengan yang patut Tuan khabarlah
dapat ta'dapat dicobakanlah
tawar menawar boleh ketahuan
tiadalah tinggi wahai bangsawan
dengan yang patut Tuan tawarkan
Adat berniaga demikian itulah
tawar menawar bukanlah salah
dengan yang patut Tuan khabarlah
dapat ta'dapat dicobakanlah
4. Puisi Lama - Pantun
Pantun merupakan sebuah puisi asli tanah Melayu yang sudah
membudaya dan mengakar dalam kehidupan masyarakatnya sehari-hari.
Ciri-ciri
dan contoh puisi lama ini, di antaranya sebagai berikut.
·
Terdiri
atas 4 baris
·
Bersajak
a-b-a-b
·
Bait
pertama berupa cangkang atau sampiran
·
Bait
kedua berupa isi
Pantun
Adat
Menanam
kelapa di pulau Bukum
Tinggi sedepa sudah berbuah
Adat bermula dengan hukum
Hukum bersandar di Kitabullah
Ikan berenang di dalam lubuk
Ikan belida dadanya panjang
Adat pinang pulang ke tampuk
Adat sirih pulang ke gagang
Lebat daun bunga tanjung
Berbau harum bunga cempaka
Adat dijaga pusaka dijunjung
Baru terpelihara adat pusaka
Bukan lebah sembarang lebah
Lebah bersarang dibuku buluh
Bukan sembah sembarang sembah
Sembah bersarang jari sepuluh
Pohon nangka berbuah lebat
Bilalah masak harum juga
Berumpun pusaka berupa adat
Daerah berluhak alam beraja
Tinggi sedepa sudah berbuah
Adat bermula dengan hukum
Hukum bersandar di Kitabullah
Ikan berenang di dalam lubuk
Ikan belida dadanya panjang
Adat pinang pulang ke tampuk
Adat sirih pulang ke gagang
Lebat daun bunga tanjung
Berbau harum bunga cempaka
Adat dijaga pusaka dijunjung
Baru terpelihara adat pusaka
Bukan lebah sembarang lebah
Lebah bersarang dibuku buluh
Bukan sembah sembarang sembah
Sembah bersarang jari sepuluh
Pohon nangka berbuah lebat
Bilalah masak harum juga
Berumpun pusaka berupa adat
Daerah berluhak alam beraja
5. Puisi Lama - Seloka
Seloka adalah karya sastra yang berbentuk sebuah pantun
berkait yang tidak akan cukup diungkapkan dengan satu bait saja karena pantun
berkait ini merupakan jalinan atas beberapa bait.
Ciri-ciri puisi lama bernama Seloka, di
antaranya sebagai berikut.
·
Satu
bait seloka terdiri atas 4 baris atau lebih.
·
Memiliki
lebih dari satu bait.
Berikut
contoh seloka 4 baris.
Sudah
bertemu kasih sayang
Duduk terkurung malam siang
Hingga setapak tiada renggang
Tulang sendi habis berguncang
Duduk terkurung malam siang
Hingga setapak tiada renggang
Tulang sendi habis berguncang
6. Puisi Lama - Talibun
Talibun merupakan puisi lama berupa
pantun yang jumlah barisnya lebih dari empat, namun harus memiliki hitungan yang genap. Misalnya enam baris, delapan baris, dan
seterusnya. Jika jumlah barisnya terdiri atas enam baris, maka tiga baris pertama harus berupa cangkang dan tiga
baris berikutnya merupakan isi.
Ciri-ciri
Talibun, di antaranya sebagai berikut.
·
Apabila
enam baris sajaknya a – b – c – a – b – c.
·
Bila
terdiri dari delapan baris, sajaknya a – b – c – d – a – b – c – d
Berikut
contoh talibun.
Tengah
malam sudah terlampau
Dinihari belum lagi nampak
Budak-budak dua kali jaga
Orang muda pulang bertandang
Orang tua berkalih tidur
Embun jantan rintik-rintik
Berbunyi kuang jauh ke tengah
Sering lanting riang di rimba
Melenguh lembu di padang
Sambut menguak kerbau di kandang
Berkokok mendung, Merak mengigal
Fajar sidik menyinsing naik
Kicak-kicau bunyi Murai
Taktibau melambung tinggi
Berkuku balam dihujung bendul
Terdengar puyuh panjang bunyi
Puntung sejengkal tinggal sejari
Itulah alamat hari nak siang
(Hikayat Malim Deman)
Dinihari belum lagi nampak
Budak-budak dua kali jaga
Orang muda pulang bertandang
Orang tua berkalih tidur
Embun jantan rintik-rintik
Berbunyi kuang jauh ke tengah
Sering lanting riang di rimba
Melenguh lembu di padang
Sambut menguak kerbau di kandang
Berkokok mendung, Merak mengigal
Fajar sidik menyinsing naik
Kicak-kicau bunyi Murai
Taktibau melambung tinggi
Berkuku balam dihujung bendul
Terdengar puyuh panjang bunyi
Puntung sejengkal tinggal sejari
Itulah alamat hari nak siang
(Hikayat Malim Deman)
7. Puisi Lama - Karmina
Karmina merupakan sebuah karya
sastra berupa pantun yang sangat kilat. Artinya, puisi lalam ini hanya
terdiri atas satu bait atau dua baris.
Ciri-ciri
puisi lama bernama Karmina, di antaranya sebagai berikut.
·
Bersajak
aa,
·
Tidak
memiliki sampiran, hanya memiliki isi.
·
Semua
baris diawali huruf capital.
Contoh
karmina adalah sebagai berikut.
B. Jenis-Jenis
Puisi Baru
Puisi
baru tidak sama dengan puisi lama. Isi, bentuk, irama, dan bentuk persajakan
dalam puisi lama sudah berubah dalam puisi baru.
Berdasarkan
jumlah baris dalam kalimat pada setiap baitnya, puisi baru dibagi dalam
beberapa bentuk puisi, yaitu:
1. Distikon
Sajak
yang berisi dua baris kalimat dalam setiap baitnya, bersajak a-a.
Contoh:
Baju berpuput alun digulung
Banyu direbus buih di bubung
Selat Malaka ombaknya memecah
Pukul memukul belah-membelah
Bahtera ditepuk buritan dilanda
Penjajah diantuk haluan diunda
Camar terbang riuh suara
Alkamar hilang menyelam segara
Armada peringgi lari bersusun
Malaka negeri hendak diruntun
Galyas dan pusta tinggi dan kukuh
Pantas dan angkara ranggi dan angkuh
( Amir Hamzah )
2. Tarzina
Sajak
tiga seuntai, artinya setiap baitnya terdiri atas tiga buah kalimat. Tarzina
bersajak a-a-a; a-b-c; a-b-b;
Contoh:
BAGAIMANA
Kadang-kadang aku benci
Bahkan sampai aku maki
……………… diriku sendiri
Seperti aku
Menjadi seteru
……………….diriku sendiri
Waktu itu
Aku ……………………..
Seperti seorang lain dari diriku
Aku tak puas
Sebab itu aku menjadi buas
Menjadi buas dan panas
( Or. Mandank )
3. Kuatrin
Sajak
empat seuntai yang setiap baitnya terdiri atas empat buah kalimat. Kuatrin
bersajak ab\ab, aa-aa, ab\ab atau aa\bb.
Contoh:
NGARAI
SIANOK
Berat himpitan gunung Singgalang
Atas daratan di bawahnya
Hingga tengkah tak alang-alang
Ngarai lebar dengan dalangnya
Bumi runtuh-runtuh juga
Seperti beradab-adab yang lepas
Debumnya hirap dalam angkasa
Derumnya lenyap di sawah luas
Dua penduduk di dalam ngarai
Mencangkul lading satu-satu
Menyabit di sawah bersorak sorai
Ramai kerja sejak dahulu
Bumi runtuh-runtuh jua
Mereka hidup bergiat terus
Seperti si Anok dengan rumahnya
Diam-diam mengalir terus
( Rifai Ali )
4. Kuint
Sajak
atau puisi yang terdiri atas lima baris kalimat dalam setiap baitnya. Kuint
bersajak a-a-a-a-a.
Contoh:
HANYA
KEPADA TUAN
Satu-satu perasaan
Yang saya rasakan
Hanya dapat saya katakana
Yang pernah merasakan
Satu-satu kegelisahan
Yang saya rasakan
Hanya dapat saya kisahkan
Kepada Tuan
Yang pernah di resah gelisahkan
Satu-satu desiran
Yang saya dengarkan
Hanya dapat saya syairkan
Kepada Tuan
Yang pernah mendengarkan desiran
Satu-satu kenyataan
Yang saya didustakan
Hanya dapat saya nyatakan
Kepada Tuan
Yang enggan merasakan
( Or. Mandank )
5. Sektet
Sajak
atau puisi enam seuntai, artinya terdiri atas enam buah kalimat dalam setiap
baitnya. Sektet mempunyai persajakan yang tidak beraturan. Dalam sektet,
pengarangnya bebas menyatakan perasaannya tanpa menghiraukan persajakan atau
rima bunyi.
Contoh:
BUNDA
DAN ANAK
Masak jambak
Buah sebuah
Diperam alam di ujung dahan
Merah
Beuris-uris
Bendera masak bagi selera
Lembut umbut
Disantap sayap
Kereak pipi mengobat luas
Semarak jambak
Di bawah pohon terjatuh ranum
Lalu ibu
Di pokok pohon
Tertarung hidup, terjauh mata
Pada pala
Tinggal sepenggal
Terpercik liur di bawah lidah
6. Septina
Sajak
tujuh seuntai yang setiap baitnya terdiri atas tujuh buah kalimat. Sama halnya
dengan sektet, persajakan septina tidak berurutan.
Contoh:
API UNGGUN
Diam tenang kami memandang
Api unggun menyala riang
Menjilat meloncat menari riang
Berkilat-kilat bersinar terang
Nyala api nampaknya curia
Hanya satu cita digapai
Alam nan tinggi, sunyi, sepi
(Intojo)
7. Stanza
Sajak
delapan seuntai yang setiap baitnya terdiri atas delapan buah kalimat. Stanza
disebut juga oktava. Persajakan stanza tidak beraturan.
Contoh:
PERTANYAAN
ANAK KECIL
Hai kayu-kayu dan daun-daunan
Mengapakah kamu bersenang-senang?
Tertawa-tawa bersuka-sukaan?
Oleh angin dan tenang, serang?
Adakah angin tertawa dengan kami?
Bercerita bagus menyenangkan kami?
Aku tidakmengerti kesukaan kamu!
Mengapa kamu tertawa-tawa?
Hai kumbang bernyanyi-nyanyi!
Apakah yang kamu nyanyi-nyanyikan?
Bunga-bungaan kau penuhkan bunyi!
Apakah yang kamu bunyi-bunyikan?
Bungakah itu atau madukah?
Apakah? Mengapakah? Bagaimanakah?
Mengapakah kamu tertawa-tawa?
(Mr. Dajoh)
Adapun
bentuk puisi baru berdasarkan isi yang terkandung di dalamnya adalah sebagai
berikut:
1. Ode
Sajakatau
puisi yang isinya mengandung pujian kepada seseorang, bangsa dan Negara, atau
pun sesuatu yang dianggap mulia. Karena isinya itulah, ode disebut juga sebagai
puji-pujian. Persajakan ode tidak beraturan atau bebas.
Contoh:
Menara sakti ( Kepada arwah
HOS. Cokroaminoto)
Generasi
Sekarang
Di
atas puncak gunung fantasi
Berdiri
aku, dan dari sana
Mandang
ke bawah, ke tempat berjuang
Generasi
sekarang di panjang masa
Menciptakan
kemegahan baru
Pantoen
keindahan IndonesiaYang jadi
kenang-kenangan
Pada
zaman dalam dunia
(Asmara
Hadi)
2. Himne
Sajak
pujaan, yaitu puji-pujian kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Himne disebut juga sajak
atau puisi ketuhanan.
Contoh:
Padamu Jua
Habis kikis
Segala cintaku
hilang terbang
Pulang kembali
aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil
kemerlap
Pelita jendela
di malam gelap
Melambai pulang
perlahan
Sabar, setia
selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Punya rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata
merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku
dalam cakarmu
Bertukar
tangkap dengan lepas
Nanar aku gila
sasar
Sayang berulang
padamu jua
Engkau pelik
menusuk ingin
Serupa dara di
balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu
seorang diri
Lalu waktu –
bukan giliranku
Matahari –
bukan kawanku
(Amir hamzah)
3. Elegi
Elegi
merupakan sajak duka nestapa. Isi sajak ini selalu mengungkapkan sesuatu yang
menyayat hati, mendayu-dayu dan mengharu-biru.
Contoh:
BERTEMU
Aku berdiri di tepi makam.
Suria pagi menyinari tanah,
Merah muda terpandang di mata,
Jiwaklu mesra tunduk ke bawah.
Dalam hasrat bertemu muka,
Melimpah mengalir kandungan rasa.
Dalam kami berhadap-hadapan
Menembus tanah yang tebal,
Kuangkat muka melihat sekitar:
Kuburan berjajar beratus-ratus:
Tanah memerah, rumput merimbun,
Pualam bernyanyi, kayu berlumut.
Sebagai kilat nyinar di kalbu:
Sebanyak itu curahan duka,
Sesering itu pula menyayat,
Air mata cucur ke bumi.
Wahai adik, berbaju putih
Dalam tanah bukan sendiri !
Dan meniaraplah jiwaku papa
Di kaki Khalik yang esa:
Di depan-Mu dukaku duka dunia,
Sedih kalbuku sedih semesta.
Beta hanya duli di udara
Hanyut mengikut dalam pewana.
Sejuk embun turun ke jiwa
Dan di mata menerang Sinar.
Aku berdiri di tepi makam.
Suria pagi menyinari tanah,
Merah muda terpandang di mata,
Jiwaklu mesra tunduk ke bawah.
Dalam hasrat bertemu muka,
Melimpah mengalir kandungan rasa.
Dalam kami berhadap-hadapan
Menembus tanah yang tebal,
Kuangkat muka melihat sekitar:
Kuburan berjajar beratus-ratus:
Tanah memerah, rumput merimbun,
Pualam bernyanyi, kayu berlumut.
Sebagai kilat nyinar di kalbu:
Sebanyak itu curahan duka,
Sesering itu pula menyayat,
Air mata cucur ke bumi.
Wahai adik, berbaju putih
Dalam tanah bukan sendiri !
Dan meniaraplah jiwaku papa
Di kaki Khalik yang esa:
Di depan-Mu dukaku duka dunia,
Sedih kalbuku sedih semesta.
Beta hanya duli di udara
Hanyut mengikut dalam pewana.
Sejuk embun turun ke jiwa
Dan di mata menerang Sinar.
(St. Takdir Alisjahbana)
4. Epigram
Sajak
atau puisi yang berisi tentang ajaran-ajaran moral, nilai-nilai hidup yang baik
dan benar, yang dilukiskan dengan ringkas. Terkadang ditulis dengan kata-kata
atau kalimat-kalimat sindiran atau kecaman pahit.
Contoh:
Pemuda
Hari
ini tak ada tempat berdiri
Sikap
lamban berarti mati
Siapa
yang bergerak, merekalah yang di depan
Yang
menunggu sejenak sekalipun pasti tergilas
(Surapati)
5. Satire
Sajak
atau puisi yang isinya mengecam, mengejek dengan kasar (sarkasme) dan tajam
(sinis) suatu kepincangan atau ketidakadilan yang ada dalam masyarakat.
Contoh:
Marhaen
Kami
berjalan berabad-abad,
Dalam
jurang yang gelap-gulita,
Tidak
berharap tidak berhajat,
Tidak
berpikir tidak bercinta.
Dewata
lupa kepada kami,
Kaum
marhaen anak sengsara,
Kami
bekerja setengah mati,
Orang
bersenang tertawa-tawa.
Kalau
engkau sesungguhnya ada,
O,
Dewata, mengapa kiranya,
Kami
diikat dalam penjara,
Biarpun
kami tidak berdosa?
(Sanusi
pane)
6. Romance
Romance
adalah sajak atau puisi yang berisi tentang cinta kasih. Cinta kasih ini tidak
hanya cinta kasih antara dua orang kekasih, tetapi juga cinta kasih dalam bentuk
lainnya. Misalnya cinta terhadap suasana damai dan tentram, cinta keadilan,
cinta terhadap bangsa dan Negara juga cinta kepada Tuhan.
Contoh:
Anakku
Engkau
datang menghintai hidup
Engkau datang menunjukkan muka
Tapi sekejap matamu kau tutup,
Melihat terang anaknda tak suka.
Mulut kecil tiada kau buka,
Tangis teriakmu tak kan diperdengarkan
Alamat hidup wartakan suka,
Kau diam, anakku, kami kau tinggalkan.
Sedikitpun matamu tak mengerling,
Memandang ibumu sakit berguling
Air matamu tak bercucuran,
Tinggalkan ibumu tak berpenghiburan
Engkau datang menunjukkan muka
Tapi sekejap matamu kau tutup,
Melihat terang anaknda tak suka.
Mulut kecil tiada kau buka,
Tangis teriakmu tak kan diperdengarkan
Alamat hidup wartakan suka,
Kau diam, anakku, kami kau tinggalkan.
Sedikitpun matamu tak mengerling,
Memandang ibumu sakit berguling
Air matamu tak bercucuran,
Tinggalkan ibumu tak berpenghiburan
(J.E.
Tatengkeng)
7. Balada
Sajak
atau puisi yang berisikan cerita atau kisah yang mungkin terjadi atau hanya
khayalan penyairnya saja.
Contoh:
Kristus
di Medan Perang
Ia menyeret diri dalam lumpur
mengutuk dan melihat langit gugur
Jenderal pemberontak segala zaman,
Kuasa mutlak terbayang di angan!
Tapi langit ditinggalkan merah,
pedang patah di sisi berdarah,
Tapi mimpi selalu menghadang,
Akan sampai di ujung: Menang!
Sekeliling hanya reruntuhan.
Jauh manusia serta ratapan,
Dan di hati tersimpan dalam:
Sekali 'kan dapat balas dendam!
Saat bumi olehnya diadili,
dirombak dan dihanguskan,
Seperti Cartago, habis dihancurkan,
dibajak lalu tandus digarami.
Tumpasnya hukum lama,
Menjelmanya hukum Baru,
Ia, yang takkan kenal ampun,
Penegak Kuasa seribu tahun!
mengutuk dan melihat langit gugur
Jenderal pemberontak segala zaman,
Kuasa mutlak terbayang di angan!
Tapi langit ditinggalkan merah,
pedang patah di sisi berdarah,
Tapi mimpi selalu menghadang,
Akan sampai di ujung: Menang!
Sekeliling hanya reruntuhan.
Jauh manusia serta ratapan,
Dan di hati tersimpan dalam:
Sekali 'kan dapat balas dendam!
Saat bumi olehnya diadili,
dirombak dan dihanguskan,
Seperti Cartago, habis dihancurkan,
dibajak lalu tandus digarami.
Tumpasnya hukum lama,
Menjelmanya hukum Baru,
Ia, yang takkan kenal ampun,
Penegak Kuasa seribu tahun!
(Situr Situmorang)
8. Soneta
Soneta
adalah salah satu bentuk puisi baru yang berasal dari Italia dan masuk ke
Indonesia melalui pemuda terpelajar Indonesia yang belajar di Eropa, terutama
Belanda.Tokoh sonata terkenal dan dianggap sebagai bapak sonata Indonesia
adalah Mohammad Yamin dan Rustam Effendi.
Soneta
yang asli terdiri atas empat belas kalimat seluruhnya. Namun sonata yang ada di
Indonesia jumlah barisnya lebih dari empat belas kalimat. Tambahan baris
kalimat dalam sonata tersebut dinamakan koda atau ekor.
Contoh:
Kehilangan Mestika
GembalaPerasaan siapa
ta ‘kan nyala ( a )
Melihat anak berelagu
dendang ( b )
Seorang saja di tengah
padang ( b )
Tiada berbaju buka
kepala ( a )
Beginilah nasib anak
gembala ( a )
Berteduh di bawah kayu
nan rindang ( b )
Semenjak pagi
meninggalkan kandang ( b )
Pulang ke rumah di
senja kala ( a )
Jauh sedikit sesayup
sampai ( a )
Terdengar
olehku bunyi serunai ( a )
Melagukan alam nan
molek permai ( a )
Wahai
gembala di segara hijau ( c )
Mendengarkan puputmu
menurutkan kerbau ( c )
Maulah aku menurutkan
dikau ( c )
(A.
Kartahadimadja)
C. Berikut adalah jenis-jenis puisi
yang dirangkum oleh Waluyo (1995:135).
1.
Puisi Naratif, Lirik, dan Deskriptif
Berdasarkan cara
penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang akan disampaikan, maka puisi dapat
diklasifisikasikan menjadi berikut ini.
a) Puisi
naratif.
Puisi
naratif mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair, baik secara sederhana,
sugestif, atau kompleks. Puisi naratif diklasifikasikan lagi menjadi balada,
romansa, epik, dan syair.
-
Balada adalah jenis puisi yang berisi
cerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pujan, atau orang-orang yang menjadi
pusat perhatian.
Contoh:
Balada
Terbunuhnya Atmo Karpo
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya
di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut penungang perampok
yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang
Segenap warga desa mengepung hutan tu
dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.
Satu demi satu yang maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka
- Nyawamu baran pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa
Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang
- Joko Pandan! Di mana ia?
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Bedah perutnya tapi masih setan ia!
menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala
- Joko Pandan! Di mana ia?
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba
Pada langkah pertama keduanya sama baja
Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah.
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapanya.
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya
di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut penungang perampok
yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang
Segenap warga desa mengepung hutan tu
dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.
Satu demi satu yang maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka
- Nyawamu baran pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa
Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang
- Joko Pandan! Di mana ia?
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Bedah perutnya tapi masih setan ia!
menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala
- Joko Pandan! Di mana ia?
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba
Pada langkah pertama keduanya sama baja
Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah.
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapanya.
W.S. Rendra.
(Waluyo, 2003:88)
(Waluyo, 2003:88)
-
Romansa adalah jenis puisi cerita yang
menggunakan bahasa romantik dan berisi ungkapan cinta kasih maupun kisah
percintaan. Menurut Waluyo (1995:136), romansa dapat juga berarti cinta tanah
kelahiran.
b)
Puisi lirik. Dalam puisi lirik, penyair
tidak bercerita. Puisi lirik merupakan sarana penyair untuk mengungkapkan aku
lirik atau gagasan pribadinya (Waluyo, 1995:136). Elegi, ode, dan serenada bisa
dikategorikan ke dalam jenis ini. Elegi banyak mengungkapkan perasaan duka atau
kesedihan, serenada merupakan sajak percintaan yang dapat dinyanyikan,
sedangkan ode adalah puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal,
atau sesuatu keadaaan (Waluyo, 1995:136).
c)
Puisi deskriptif. Dalam puisi
deskriptif, penyair memberi kesan terhadap suatu peristiwa atau fenomena yang
dipandang menarik perhatian penyair (Waluyo, 1995:137). Jenis puisi yang dapat
dikategorikan ke dalam jenis ini adalah satire, kritik sosial, dan puisi-puisi
impresionistik.
2.
Puisi Kamar dan Puisi Auditorium
a)
Istilah puisi kamar dan puisi auditorium
dipopulerkan oleh Leon Agusta dalam buku kumpulan puisinya, Hukla. Puisi kamar
ialah puisi yang cocok dibaca sendirian atau dengan satu atau dua pendengar
saja. Puisi kamar lebih berisi perenungan sehingga pemaknaannya bisa dicapai
lewat pemikiran yang tenang. Kebanyakan puisi Sapardi Djoko Damono bisa
dikategorikan dalam jenis puisi kamar. Salah satu contoh untuk disebutkan
adalah puisi berjudul Aku Ingin.
Aku
Ingin
Aku ngin mencintaimu dengan sederhana :
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ngin mencintaimu dengan sederhana :
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Aku ngin mencintaimu dengan sederhana :
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ngin mencintaimu dengan sederhana :
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
(Waluyo, 2003:117)
b)
Puisi Auditorium adalah puisi yang cocok
dibacakan di auditorium, mimbar yang jumlah pendengarnya bisa dikatakan banyak.
Puisi auditorium disebut juga puisi mimbar, puisi yang keindahannya semakin
bergelora ketika dibaca dengan suara lantang. Untuk disebutkan sebagai contoh,
Sajak Lisong karya W.S. Rendra bisa dikategorikan dalam jenis puisi mimbar.
3.
Puisi Fisikal, Platonik, dan Metafisikal
Puisi
fisikal berisi pelukisan kenyataan yang sebenarnya, apa yang dilihat, didengar,
atau dirasakan oleh penyair. Puisi-puisi naratif, balada, puisi impresionistik,
dan puisi dramatis biasanya merupakan puisi fisikal (Waluyo, 1995:138).
Puisi
platonik adalah puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yan bersifat spiritual
atau kejiwaan. Puisi tentang ide, cita-cita, dan cinta luhur dapat dinyatakan
sebagai puisi platonik.
Puisi
metafisikal adalah puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca
merenungkan kehidupan atau ketuhanan. Puisi religius di satu sisi dapat
dinyatakan sebagai puisi platonik (menggambarkan ide atau gagasan penyair), dan
di sisi lain dapat juga disebut sebagai puisi metafisik (mengajak pembaca
merenungkan kehidupan atau ketuhanan). Sebagai contoh, puisi-puisi yang ditulis
oleh A. Mustofa Bisri selain sebagai puisi platonik, juga merupakan puisi
metafisik.
Ittihad
lalu atas izinmu
kita pun bertemu
dan senyummu
menghentikan jarak dan waktu
lalu atas izinku
kita pun menyatu
(Negeri Daging, hal.33)
lalu atas izinmu
kita pun bertemu
dan senyummu
menghentikan jarak dan waktu
lalu atas izinku
kita pun menyatu
(Negeri Daging, hal.33)
4. Puisi
Subjektif dan Objektif
Puisi
subjektif atau bisa disebut puisi personal adalah puisi yang mengungkapkan
gagasan, pemikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri.
Puisi-puisi ekspresionis semacam puisi lirik dapat dikategorikan sebagai puisi
subjektif.
Puisi
objektif atau puisi impersonal merupakan puisi yang mengungkapkan hal-hal di
luar diri penyair itu sendiri. Jenis-jenis puisi yang bisa digolongkan sebagai
puisi objektif adalah puisi naratif dan deskritptif, meskipun ada di antaranya
yang subjektif (Waluyo, 1995:138)
5.
Puisi Konkret
Puisi
konkret (poems for the eye) diartikan sebagai puisi yang bersifat visual, yang
dapat dihayati keindahannya dari sudut penglihatan (Kennedy lewat Waluyo,
1995:138). Jenis puisi ini mulai dipopulerkan sejak tahun 1970-an oleh Sutardji
Calzoum Bachri. Pada tahun 1975, Jeihan Sukmantoro juga menulis puisi konkret,
walau masih dalam geliat puisi mbeling.
HAL,
2
ooooooooo
ooooooooo
ooooooooo
ooooooooo
ooooooooooooooooooooooooooo
ooooooooooooooooooooooooooo
ooooooooooooooooooooooooooo
ooooooooooooooooooooooooooo
ooooooooo
ooooooooo
ooooooooo
ooooooooo
S.O.S
O 2
!
ooooooooo
ooooooooo
ooooooooo
ooooooooooooooooooooooooooo
ooooooooooooooooooooooooooo
ooooooooooooooooooooooooooo
ooooooooooooooooooooooooooo
ooooooooo
ooooooooo
ooooooooo
ooooooooo
S.O.S
O 2
!
(Mata Mbeling
Jeihan, hal. 49)
6.
Puisi Diafan, Gelap, dan Prismatis
Puisi
diafan atau puisi polos adalah puisi yang kurang sekali menggunakan
pengimajian, kata konkret, dan bahasa figuratif, sehingga bahasa dalam puisi
mirip dengan bahasa sehari-hari (Waluyo, 1995:140). Biasanya, para pemula dalam
hal menulis puisi cenderung menghasilkan karya dalam jenis ini. Mereka belum
mampu mempermainkan kiasan, majas, dan sebagainya, sehingga puisi menjadi
kering dan lebih mirip catatan pada buku harian.
Puisi
gelap menurut Waluyo (1995:140), adalah puisi yang terbentuk dari dominasi
majas atau kiasan sehingga menjadi gelap dan sukar ditafsirkan. Sementara itu,
Sutardji Calzoum Bachri mengidentifikasikan puisi-puisi yang ditulis era
80-90an sebagai puisi gelap. Afrizal Malna adalah salah satu penyair yang
menulis puisi “gelap” kala itu. Menurut Sutardji, (lewat Sarjono, 2001:102),
gelapnya puisi 80-90an memiliki pengertian mendua, yakni:
(1)
persoalan komunikasi puisi
(2)
persoalan gagalnya pengucapan puitik.
Sementara
itu, Abdul Wachid B.S. (2005:50) dan Korrie Layun Rampan (2000:xxxiii)
memandangnya lain. Fenomena puisi gelap dan gelapnya puisi dipahami sebagai
‘taktik’ untuk tetap berpuisi dalam situasi dan kondisi kehidupan bernegara
yang represif. Berangkat dari realitas sosial yang dipahami oleh penyair
sebagai peristiwa individu di satu sisi dan sebagai peristiwa sosial di sisi
lain, puisi gelap pada waktu itu tetap menyampaikan ironi dan kritik sosial
sebagai tugas sastra.
Puisi
prismatis sudah menggambarkan kemampuan penyair majas, diksi, dan sarana puitik
yang lain, sehingga puisi bisa dikatakan sudah ‘menjadi’. Puisi prismatis kaya
akan makna, namun tidak gelap (Waluyo, 1995:140). Puisi karya para penyair
besar adalah puisi berjenis ini. Penyair besar adalah orang yang telah melewati
proses kreatif yang matang sehingga mereka telah menemukan dirinya dan
menemukan bentuk bagi puisinya.
7.
Puisi Parnasian dan Puisi Inspiratif
Puisi
parnasian diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan dan bukan
didasari oleh inspirsi karena adanya mood dalam jiwa penyair (Waluyo,
1995:140). Puisi-puisi ini biasanya ditulis oleh ilmuwan yang kebetulan
mempunyai kemampuan menulis puisi. Walaupun demikian, puisi parnasian tetap
merupakan puisi, yang akan tetap diapresiasi dan diproduksi oleh masyarakat
sastra Indonesia. Bahkan, Wellek dan Warren (Budianta, 1993:28) menyamakan
puisi sebagai sejenis pengetahuan. Apapun pengetahuan yang akan disampaikan dan
apapun latar belakang keilmuan penyair, sesuatu akan menjadi puisi jika ia
diciptakan dengan segala piranti puitik yang ada.
Puisi
inspiratif diciptakan berdasarkan mood atau passion penyair (Waluyo, 1995:
141). Dalam tataran ini, menurut istilah Subagyo Sastrwardoyo (dalam Eneste,
1982:22), puisi atau sajak benar-benar merupakan suara-suara dari bawah sadar.
Selanjutnya, penyair menulis sajak dari “gelegak sukma yang menjelma ke indah
kata”, istilah Tatengkeng dan Rustam Effendi (via Sarjono, 2001:103). Puisi pun
lahir dalam keutuhannya yang paling bernas.
8.
Stansa
Stansa
adalah jenis puisi yang masih mengikat bentuknya dalam kaidah baris, yaitu terdiri
dari delapan baris. Malam Kelabu yang ditulis W.S. Rendra adalah salah satu
contoh stansa.
Malam
Kelabu
Ada angin menerpa jendela
Ada langit berwarna kelabu
Hujan titik satu-satu
Menatap cakrawala malam jauh
Masih adakah kuncup-kuncup mekar
Atau semua telah layu
Kelu dalam seribu janji
Kelam dalam penantian
Ada angin menerpa jendela
Ada langit berwarna kelabu
Hujan titik satu-satu
Menatap cakrawala malam jauh
Masih adakah kuncup-kuncup mekar
Atau semua telah layu
Kelu dalam seribu janji
Kelam dalam penantian
(Teori dan Apresiasi Puisi, hal.
141)
9. Puisi
Demonstrasi dan Pamflet
Dalam
mengidentifikasikan jenis puisi ini, Waluyo menyaran pada puisi-puisi yang
ditulis oleh Taufiq Ismail dan mereka yang oleh H.B. Jassin disebut sebagai
Angkatan ’66 (1995:141). Puisi demonstrasi merupakan pelukisan dan hasil
refleksi demonstrasi para mahasiswa dan pelajar sekitar tahun 1966. Menurut
Sastrowardoyo, (lewat Waluyo, 1995: 142), puisi-puisi demonstrasi 1966 bersifat
kekitaan, yaitu melukiskan perasaan kelompok. Di samping itu, puisi juga
merupakan endapan dari pengalaman fisik, mental, dan emosional penyair selama
terlibat dalam demonstrsi tahun 1966. Gaya yang dipakai penyair adalah ironi
dan paradoks.
Puisi pamflet tidak berbeda jauh dengan puisi demonstrasi. Keduanya sama-sama bernada protes dan kritik sosial. Kata-katanya selalu menunjukkan rasa tidak puas kepada keadaan (Waluyo, 1995:142). Sajak Lisong karya W.S. Rendra adalah salah satu contoh puisi pamflet. Dalam puisi pamfletnya, selain menggugat keadaan, Rendra juga mengkritik para penguasa dengan simbolisasi yang berani dan tajam.
Puisi pamflet tidak berbeda jauh dengan puisi demonstrasi. Keduanya sama-sama bernada protes dan kritik sosial. Kata-katanya selalu menunjukkan rasa tidak puas kepada keadaan (Waluyo, 1995:142). Sajak Lisong karya W.S. Rendra adalah salah satu contoh puisi pamflet. Dalam puisi pamfletnya, selain menggugat keadaan, Rendra juga mengkritik para penguasa dengan simbolisasi yang berani dan tajam.
10.
Alegori
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, alegori adalah cerita yang dipakai sebagai
lambang (ibarat atau kias) perikehidupan manusia yang sebenarnya untuk mendidik
(terutama moral) atau menerangkan sesuatu (gagasan, cita-cita atau nilai
kehidupan, seperti kebijakan, kesetiaan, dan kejujuran). Jadi, dalam hal ini,
alegori adalah puisi yang memanfaatkan cerita, bisa dongeng atau hikayat,
sebagai sarana penyair untuk mengungkapkan pemikiran-pemikirannya. Salah satu
puisi yang bisa dijadikan contoh alegori adalah Ken Arok karya Omi Intan Naomi
berikut ini.
Ken Arok
saat tertikam keris anusapati
berkata ia, revolusi takkan mati
akan tumbuh bagai duit di jalan tol
ken arok-ken arok baru yang bahkan
lebih dahsyat mengukir dalam-dalam namanya di peradaban
ia akan bunuh setiap tunggul ametung
dan akan seret setiap ken dedes ke ranjang
meraup negeri dan isinya habis-habis
lalu mulai bermimpi tentang
kerajaan miliknya
ia kagumi diri sendiri betapa kuatnya tangan-tangannya
yang telah mencekik kediri
menjual kelahirannya dan meninggikan singasari
dan anak-anak haram yang akan mendepani pasukan
menyeru perang dan lapar wewenang
akan mengawini kegelapan, dan
dalam kuasanya ia tertikam.
(Apresiasi Puisi, hal. 178)
Selain
jenis-jenis puisi yang telah dipaparkan, masih ada jenis puisi lain yang juga
pernah dan masih menjadi bahan pembicaraan masyarakat puisi Indonesia.
Jenis-jenis puisi itu adalah sebagai berikut ini
1. Puisi
Mbeling
Puisi
mbeling pertama kali populer di Indonesia pada tahun 1970-an. “Puisi mbeling”
adalah nama yang diberikan oleh pengasuh rubrik puisi dalam majalah Aktuil
untuk sajak-sajak yang dimuat dalam majalah itu (Soedjarwo, 2001:1). Hal yang
mendorong lahirnya puisi mbeling antara lain ialah tidak imbangnya antara
hasrat dan kreativitas anak-anak muda dalam menulis puisi dengan majalah
kesusastraan yang tersedia. Puisi mbeling kala itu juga sering disebut dengan
puisi pop, puisi lugu, atau puisi awam.
Tema-tema yang
digarap oleh puisi mbeling adalah kelakar, ejekan, kritik, dan main-main
(Soedjarwo, 2001:2). Yang dipentingkan, sekaligus menjadi tujuan, penulisan
puisi mbeling adalah kesan sesaat pada waktu membaca sajak tersebut. Jika
pembaca tersenyum, tertawa lepas, manggut-manggut, atau sedikit terkejut
membaca pernyatan-pernyataan yang nakal dan berani, itu sudah cukup (Soedjarwo,
2001:3). Berikut adalah beberapa contoh puisi mbeling yang ditulis oleh
Yudhistira Ardi Noegraha (Kesaksian di Hari Natal), Nhur Effendi Ardhianto
(Pesan Pelacur pada Langganannya), dan Remy Silado (Buat Iin Suwardjo sebelum
Mandi).
KESAKSIAN
DI HARI NATAL
Ketika pipi kananku ditampar
plak!
kuturuti sabdamu, ya bapak
kuberikan pipi kiriku
dan
plak!
duh, larane.
Ketika pipi kananku ditampar
plak!
kuturuti sabdamu, ya bapak
kuberikan pipi kiriku
dan
plak!
duh, larane.
(Puisi
Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas, hal. 33)
PESAN
PELACUR PADA LANGGANANNYA
mas
kapan rene maneh
mas
kapan rene maneh
(Puisi
Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas, hal. 35)
BUAT
IIN SUWARDJO SEBELUM MANDI
ceweku wangi baunya
wangi bau ceweku
wangi ceweku
ceweku
cewe
cewecewecewecewecewe
ce
we
ce
we
c
w
c
w
w.c.
w.c bau c.w
c.w bau w.c
ceweku bau w.c.
ceweku wangi baunya
wangi bau ceweku
wangi ceweku
ceweku
cewe
cewecewecewecewecewe
ce
we
ce
we
c
w
c
w
w.c.
w.c bau c.w
c.w bau w.c
ceweku bau w.c.
(Puisi
Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas, hal. 37)
2. Puisi
Imajis
Puisi
imajis mengandung makna bahwa puisi itu sarat dengan imaji (visual, auditif,
dan taktil) atau mendayagunakan imaji sebagai kekuatan literernya. Imaji bisa
dimanfaatkan sebagai rasa (kesatuan makna kata), metafora (perbandingan makna
kata), maupun sebagai muatan utama sebuah puisi (Banua, 2004). Selanjutnya
ditambahkan oleh Banua, agar imajinasi bisa maksimal, diperlukan keberanian
membangun dimensi makna lewat perumpamaan yang tidak lazim, memperlawankan,
atau mempersandingkan dengan kata atau imaji lain yang luas dan kreatif.
Menurut analisis Banua (2004) dan Abdul Wachid B.S. (2005:23), puisi-puisi yang
ditulis oleh Sapardi Djoko Damono adalah salah satu contoh puisi imajis.
Berikut adalah salah satu contoh puisinya.
Hujan
Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik hujannya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik hujannya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(Apresiasi
Puisi, hal.117)
Unsur-Unsur
Puisi
Secara sederhana,
batang tubuh puisi terbentuk dari beberapa unsur, yaitu kata, larik , bait,
bunyi, dan makna. Kelima unsur ini saling mempengaruhi keutuhan sebuah puisi.
Secara singkat bisa diuraikan sebagai berikut.
Kata adalah unsur utama
terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi) yang tepat sangat menentukan
kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Kata-kata yang dipilih diformulasi
menjadi sebuah larik.
Larik (atau baris)
mempunyai pengertian berbeda dengan kalimat dalam prosa. Larik bisa berupa satu
kata saja, bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat. Pada puisi lama,
jumlah kata dalam sebuah larik biasanya empat buat, tapi pada puisi baru tak
ada batasan.
Bait merupakan
kumpulan larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah biasanya ada kesatuan
makna. Pada puisi lama, jumlah larik dalam sebuah bait biasanya empat buah,
tetapi pada puisi baru tidak dibatasi.
Bunyi dibentuk oleh
rima dan irama. Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh
huruf atau kata-kata dalam larik dan bait. Sedangkan irama (ritme) adalah
pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi.
Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan
bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait),
tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat
konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata. Dari sini dapat dipahami bahwa
rima adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk
oleh rima. Baik rima maupun irama inilah yang menciptakan efek musikalisasi
pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa
dilagukan.
Makna adalah unsur
tujuan dari pemilihan kata, pembentukan larik dan bait. Makna bisa menjadi isi
dan pesan dari puisi tersebut. Melalui makna inilah misi penulis puisi
disampaikan.
Adapun secara lebih
detail, unsur-unsur puisi bisa dibedakan menjadi dua struktur, yaitu struktur
batin dan struktur fisik.
Struktur batin puisi, atau sering pula
disebut sebagai hakikat puisi, meliputi hal-hal sebagai berikut.
(1) Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa.
Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna,
baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
(2) Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap
pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa
erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya
latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam
masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan.
Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak
bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan
bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan,
pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan
psikologisnya.
(3) Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap
pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat
menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca
untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca,
dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
(4) Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun
tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut
bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam
puisinya.
Sedangkan struktur
fisik puisi, atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah sarana-sarana
yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi. Struktur fisik
puisi meliputi hal-hal sebagai berikut.
(1) Perwajahan
puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi
kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak
selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal
tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
(2)
Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya.
Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat
mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin.
Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi,
dan urutan kata.
(3)
Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman
indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan
imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca
seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
(4) Kata
kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan
munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal
kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll,
sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat
hidup, bumi, kehidupan, dll.
(5)
Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan
efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif
menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya
akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun
macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi,
sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks,
antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
(6)
Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan
bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup
(1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis
pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi,
persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh,
repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan
kata/ungkapan. Ritma adalah tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya
bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar