Kamis, 14 Juni 2012

Karya Sastra Sebagai Struktur Strukturalisme

1.1        Teori Aristoteles Mengenai Struktur Karya Sastera
Setelah membicarakan beberapa aspek karya sastera yang berkaitan langsung dengan masalah sistem bahasa dan sistem sastera sekarang dibahas empat pendekatan terhadap karya sastera yang disarankan oleh model Abrams yang pada prinsipnya sesuai dengan model semiotik lainnya, yaitu pendekatan objektif, kespresif, pragmatik, dan mimetik. Dalam bab ini akan diteliti pendekatan objektif, yaitu pendekatan yang menekankan karya sastera sebagai struktur yang sedikit banyak bersifat otonom.
Pendekatan objektif sesungguhnya sama tuanya di dunia Barat dengan puitika sebagai cabang ilmu pengetahuan. Aristoteles, dalam bukunya yang berjudul Poetika, Yang ditulis sekitar tahun 340 SM di Athena, meletakkan dasar yang kuat untuk pandangan yang menganggap karya sastera sebagai struktur yang otonom. Untuk terjemahan Inggris, tulisan Aristoteles, saya mengacu pada buku Dorsch, Classical Literary Criticism (1974) atau pada Ancient Literary Cricitism (1972), atau dalam bahasa Belanda, pada Bal dan kawan-kawan (1981). Untuk pembahasan Aristoteles lihat pula Daiches (1956, bab II). Dalam Bab IV telah dibicarakan secara singkat pembahasan masalah jenis sastera yang terdapat dalam Poetika Aristoteles. Masalah struktur karya sastera dibicarakannya dalam rangka pembahasan tragedi, khususnya dalam pasal-pasal mengenai plot. Menurut pandangan Aristoteles dalam tragedi yang terpenting adalah action (tindakan) bukan character (watak). Efek tragedi dihasilkan oleh aksi plotnya, dan untuk menghasilkan efek yang baik plot harus mempunyai wholeness (keseluruhan); untuk itu harus dipenuhi empat syarat utama, yang dalam terjemahan Inggris disebut order, amplitude, atau complexity, unity dan connection atau coherence. Order berarti urutan dan aturan: urutan aksi harus teratur, harus menunjukkan konsekuensi dan konsistensi yang masuk akal terutama harus ada awal, pertengahan dan akhir yang tidak sembarangan. Amplitude (atau complexity) berarti bahwa luasnya ruang lingkup dan kompleksitas karya harus cukup untuk memungkinkan perkembangan peristiwa yang masuk akal ataupun yang harus ada untuk menghasilkan peredaran dari nasib baik ke nasib buruk atau sebaliknya. Unity berarti bahwa semua unsur dalam plot harus ada, tak mungkin tiada dan tidak bisa bertukar tempat tanpa mengacaukan atau membinasakan keseluruhannya. Connection atau coherence berarti bahwa sasterawan tidak bertugas untuk menyebutkan hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi, melainkan hal-hal yang mungkin atau harus terjadi dalam rangka keseluruhan plot itu. Justru hal ini merupakan perbedaan hakiki antara sasterawan dan sejarawan; sejarawan menceritakan yang terjadi, sedangkan sasterawan menceritakan peristiwa atau kejadian yang masuk akal atau harus terjadi, berdasarkan konsistensi dan logika ceritanya. Dalam hubungan ini juga dibicarakan masalah efek estetik; alangkah baik kalau peristiwa yang merupakan plot itu, walaupun mempunyai konsistensi dan koherensi, namun mengadakan kejutan pada pembaca yang pada awalnya tidak sadar akan koherensi peristiwa plot tersebut: “when things happen unexpectedly but because of each other….. emotion (are) most likely to be stirred” (justru bilamana hal-hal terjadi secara tak diharapka tetapi karena perkaitan satu sama lain, maka paling besar kemungkinannya keterharuan atau rasa akan digerakkan) (Ancient Literary Criticism, 103).
Jadi keteraturan dan susunan plot yang masuk akal, ruang lingkup yang cukup luas, kesatuan dan keterkaitan plot disebut Aristoteles sebagai syarat utama, khususnya untuk tragedi; tetapi syarat yang sama pada prinsipnya berlaku pula untuk epik dan untuk seni kata umumnya. Sesungguhnya syarat itu sejak Aristoteles secara implisit dan eksplisit, selalu diajukan sebagai syarat mutlak untuk karya sastera yang berhasil dan bernilai. Kesatuan, keseluruhan, kebulatan, keterjalinan, istilah mana pun dapat dipakai unutk mengungkapkan konvensi utama yang menguasai dan mengarahkan pembaca dalam tanggapannya dan penilaiannya terhadap karya sastera. Kita selalu mencoba memahami fungsi anasir-anasir atau peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita dalam rangka keseluruhan plotnya, dan sebaliknya kita membina interpretasi plot atas dasar pengikutsertaan sebanyak mungkin bagian atau anasir cerita. Tidak ada hukuman yang lebih berat bagi karya sastera daripada tudingan seorang kritik sastra yang menyimpulkan, “Karya ini tidak ada ujung pangkalnya”, atau “Karya itu tidak keruan, tidak masuk akal plotnya,” ataupun “Fungsi dan peranan para tokoh atau peristiwa tidak dapat dipertangguang jawabkan dalam keseluruhan cerita ini.”
Konsepsi Aristoteles mengenai wholeness, unity, complexity, coherence seluruh plot tidak pernah menghilang lagi dari dunia sastera Barat, dan dipegang serta dipertahankan secara cukup setia baik oleh penulis atau pembaca Barat, sebagai konvensi dasar seni sastera. Malahan mungkin sekali oleh pembaca dan ahli teori sastera Barat konvensi ini dianggap sesuatu yang wajar, alamiah, ataupun universal. Tetapi kalau dibahas beberapa konsep puitika Cina dan India dapat dilihat bahwa dilingkungan kebudayaan lain konvensi tersebut jauh lebih kurang kuatnya, atau malahan sama sekali tidak dipegang secara umum atau dalam jenis sastera tertentu.
1.2        Struktur Karya Sastera dan Lingkaran Hermeneutik
Anggapan atau asumsi dasar bahwa karya sastera, dan umumnya suatu uraian, merupakan keseluruhan yang bagian-bagian atau anasir–anisrnya masing-masing berjalinan menimbulkan masalah teori yang seringkali dibahas, baik dalam ilmu sastera maupun filsafat, dengan istilah lingkaran hermeutik (lihat di antara banyak  tulisan lain, Vietor, 1952: 305-6 yang merujuk pada tulisan Dilthey dan Schleiermacher). Hermeneutik adalah ilmu atau keahlian menginterpretasi karya sastera dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya. Proses penafsiran kalau dipikirkan baik-baik, selalu menghadapi kesulitan metodis; kalau benar anasir-anasir serta bagian-bagian teks tertentu baru dan hanya mendapat makna yang sepenuhnya dan sebenarynya dalam keseluruhan karya itu, sedangkan sebaliknya keseluruhan karya dibina maknanya atas dasar makna anasir-anasir dan bagian-bagiannya, dimanakah interpretasi harus kita mulai? Kita seolah-olah menghadapi lingkaran setan yang tidak memungkinkan kita luput darinya: interpretasi keseluruhannya tidak dapat dimulai tanpa pemahaman bagian-bagiannya, tetapi interpretasi bagian mengandaikan lebih dahulu pemahaman keseluruhan karya itu. Dalam praktek interpretasi sastera lingkaran itu dipecahkan secara dialektis, bertangga, dan lingkarannya sebenarnya bersifat spiral: mulai dari interpretasi menyeluruh yang bersifat sementara kita berusaha unutk menafsirkan anasir-anasirnya sebaik mungkin; penafsiran bagian-bagian pada gilirannya menyanggupkan kita untuk memperbaiki pemahamankeseluruhan karya, kemudian interpretasi itulah pula yang memungkinkan kita untuk memahami secara lebih tepat dan sempurna bagian-bagiannya, dan seterusnya; sampai pada akhirnya kita mencapai taraf penafsiran dimana diperoleh integrasi makna total dan makna bagian yang optimal. Sudah tentu, dalam proses interpretasi sering kali kita mengubah interpretasi awal; kalau pemahaman bagian tidak cocok dengan pemahaman keseluruhan kita mencari jalan untuk menyesuaikan kedua-duanya, dengan meninjau kembali salah satu diantaranya atau malahan kedua-duanya. Pada pembaca awam proses penafsiran biasanya berlaku secara implisit dan tidak sadar; hanya penafsiran ilmiah atau profesionallah (pengkritik sastera!) yang mencoba menyadari proses bertangga dan interpretasi sebuah karya. Tetapi pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara proses tak sadar pembaca awam dan proses sadar seorang ahli.
Yang jelas pula: proses interpretasi yang bertangga didasarkan pada asumsia atau konvensi ataupun aksioma bahwa teks yang dibaca mempunyai kesatuan, keseluruhan, kebulatan makna dan koherensi intrinsik. Dalam masyarakat sastera yang menganut konvensi dasar bahwa karya tidak harus mempunyai makna yang homogen, menyeluruh dan terintegrasi (seperti yang tadi telah  disebutkan tentang sastera India dan Cina), proses interpretasi tidak mungkin dikuasai oleh lingkaran hermeneutik yang hanya dapat dipecahkan secara bertangga. Tetapi tentang tradisi sastera di dunia Barat yang dominan dapat dikatakan bahwa secara eksplisit atau implisit prinsip struktur koheren tadi dipertahankan; pembaca Barat yang baik atau dianggap baik dari awal mulanya berlatih dan dilatih (di sekolah!) untuk memecahkan lingkaran hermeneutik dan mencari makna total sebuah karya sastera; setiap bagian dari anasir karya itu diberi tempat yang selayaknya dalam penafsiran karya yang menyeluruh, sekaligus menyumbangkan aspek hakikipada keseluruhan makna karya tersebut. Kalau seorang pembaca tidak berhasil mencapai interpretasi integral dan total, hanya ada dua kemungkinan; karya itu gagal, atau pembaca bukanlah pembaca yang baik; kemungkinan ketiga tidak ada. Dan, sudah tentu, penulis di lingkungan kebudayaan Barat melakukan usaha yang sama,dia pun terikat pada konvensi itu; atau, kalaupun dia memberanikan diri untuk menyimpang dari konvensi tersebut (sepert yang dapat dilihat dalam karya sastera moderna tertentu) penyimpangan itu harus dan dapat kita pahami hanya dengan latar belakang konvensi dasar itu sendiri.
1.3        Kekurangan Minat untukStruktur Karya Sastera pada Abad Kesembilan Belas
Namun walaupun pendekatan objektif tidak pernah hilang dari tradisi hermeneutik Barat, harus dikatakan bahwa, misalnya, pada abad ke-19 dalam teori dan kritik sastera minat pada karya demi karya itu sendiri tidak dominan. Dalam bab II telah diuraikan bahwa dalam kritik sastera abad ke-19 pendekatan ekspresif sangat ditonjolkan. Penyair, jiwanya, kreativitasnya, genialitasnyalah yang menjadi pusat perhatian para pengkritik dan ahli sastera, dan karya sastera “hanyalah” atau terutama menjadi jalan atau sarana untuk memahami jiwa penyair. Sedang pendekatan lain yang diutamakan dalam ilmu sastera pada abad ke-19 adalah sejarah sastera yang juga sering mengabaikan karya sebagai keseluruhan makna; pada abad itu segala bidang ilmu kemanusiaan berorientasi sejarah: bentuk bahasa purbalah yang dilacak, misalnya bahasa Indo-Eropa, bahasa Austronesia purba dan lain-lain. Dengan sendirinya ilmu bahasa menjadi cukup atomistis, lebih memperhatikan sejarah unsur-unsur bahasa (bunyi, awalan atau akhiran, etimologi kata tertentu) daripada bahsa sebagai totalitas. Demikian pula dalam ilmu sastera terutama ditelusuri sejarah unsur-unsur sastera, motif, atau tema terteantu dilacak perkembangannya sepanjang sejarah, sampai ke bentuk asli atau purba : motif Oedipus, Faust, motif cerita Rama, Panji, dan lain-lain. Dalam penelitian sastera Indonesia terutama diperhatikan asal-usul teks Melayu atau Jawa dalamsastera Arab, Parsi atau India; Kern, misalnya, membandingkan cerita atau tokoh wayang Jawa dengan bentuk cedrita atau tokoh yang sama dalam sastera Sanskerta, sambil mencoba menjelaskan penyimpangan dan kekeliruannya. Demikian pula Van Ronkel, ahli sastera Melayu yang terkenal, walaupun kebanyakan karya  ilmiahnya ditulisnya pada abad ke-20, dari segi pendekatannya termasuk ke-19, dengan usahanya untuk mengambalikan teks-teks Melayu pada bentuk aslinya dalam bahasa Arab atau Parsi. Dan Winstedt, sarjana lain dari abad ke-20 yang tetap menganut prinsip sejarah–komparatif dari abad ke-19, dalam bukunya terkenal, A History of (Classical) Malay Literature (1940), memekai kerangka yang jelas memperlihatkan pendekatan historis: Sastra Melayu dibagi-bagi menurut gelombang-gelombang pengaruh asing yang dianggap atau diandaikan berturut-turut melanda dunia Melayu, bukan berdasarkan ciri-ciri kahs Melayu pada sastera tersebut tersebut (lihat pula Bab XI). Pendekatan semacam ini khas untuk ilmu sastera abad ke-19 di Barat.
Yang popular pula pada abad ke-19 ialah pendekatan yang melihat sastera pertama-tama sebagai sarana untuk memahami aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas, terutama agama, sejarah atau aspek kemasyarakatan. Itu pun dapat diperlihatkan di bidang studi sastera Indonesia, mulai dari abad ke-19 hingga jauh ke dalam abad ini: hal itu diakibatkan atau diperkuat lagi karena peneliti sastera sering kali bekerja selaku penyebar agama, penerjemah Al-Kitab, arkeolog atau sejarawan ataupun pamong praja. Teks-teks Jawa Kuno, Jawa, Melayu, Aceh dan lain-lain dimanfaatkan untuk memeperjelas aspek kebudayaan tertentu , tetapi sering kali kurang mendapat perharian sebagai aspek kebudayaan tersendiri yang memeerlukan pendekatan khas, yang cocok dengan sifat sebagai sastera. Dalam menggunakan karya sastera untuk penelitian kebudayaan unsur-unsur atau bagian-bagaian tertentu teks tersebut dibahas, sering kali lepas dari konteks keseluruhannya. Sastera sebagai gejala kebudayaan yang mandiri masih kurang mendapat perhatian, baik di Barat maupun dalam penelitian sastera Indonesia.
1.4        Munculnya Minat pada Struktur Karya Sastera
Di Barat dapat dilihat perubahan haluan yang berangsur-angsur dalam ilmu sastera pada abad ke-20. Pergeseran yang umum dapat dilihat di bidang ilmu-ilmu kemanusiaan ialah pergeseran dari pendekatan historis atatu diakronis ke arah pendekatan sinkronis, sekaligus dapat disaksikan secara khas pergeseran dari pendekatan sastera sebagai sarana untuk pengetahuan lain ke arah sastera sebagai bidang kebudayaan yang otonom. Di bidang ilmu bahasa telah disebut nama Ferdinan de Saussure, yang membawa perputaran perspektif yang cukup radikal dari pendekatan diakronis ke pendekatan sinkronis, penelitian bahasa menurut pendapata ini harus mendahulukan bahasa sebagai sistem yang sinkronis; makna dan fungsi unsur-unsurnya hanya dapat dipahami dalam keterkaitannnya dengan unsur-unsur lain; sifat utama bahasa sebagai sistem tanda ialah sifat relasionalnya, yang berarti bahwa keseluruhan relasi atau oposisi antara unsur-unsur dan aspek-aspeknya harus diteliti dan dipahami terlebih dahulu; baru kemudian secara efektif dapat ditelusuri perubahannya dalam sejarah. Konsepsi demikian merupakan awal mula aliran atau mazhab ilmu bahasa yang disebut strukturalisme, yang kemudian berpuluh-puluh tahun lamanya menjadi dominan dalam ilmu bahasa, baik di Eropa dengan berbagai pusat yang masing-masing ada keistimewaannya atau tekannya yang khas: Jenewa, Paris, Praha, Kopenhagen, Amsterdam, maupun di Amerika Serikat dengan Sapir dan Bloomfield sebagai tokoh utama pada tahap awal. Dalam ilmu bahasa Indonesia pendekatan struktural yang eksplisit baru mulai ada dengan karya Uhlenbeck (kini tersedia dalam bahasa Indonesia: 1982) mengenai struktur bahasa Jawa, maupun peneliti sabeelum perang, mulai dari Roorda dan Vander Tuuk pada pertengahan abad ke-19 sampai ke Adriani dan Esser pada abad ke-20 secara implisit dan intuitif  dalam karya deskriptifnya mengenai bahasa-bahasa daerah sering kali menerapkan semacam pendekatan struktural.
Di bidang antropologi budaya pendekatan struktural juga muncul pada awal abad ke-20, dengan peneliti Prancis seperti Durkheim dan Mauss sebagai pelopornya. Di bidang studi antropologi (pada waktu itu disebut etnologi atau dalam bahasa Belanda volkenkunde) mengenai Indonesia aliran strukturalis secara cukup menonjol diwakili oleh J.P.B. de Josselin de jong dan W.H. Ressers, dengan murid-muridnya yang termasuk mazhab Leiden, yang hasil-hasilnya mencapai taraf internasional (lihat The Nature of Structure).
1.5        Aliran Formalis di Rusia
1.6        Pendekatan Struktural dan Gerakan Otonomi
1.7        Tentang Analisis Struktur Karya Sastera
1.8        Empat Kelemahan Strukturalisme, Khususnya NewCricitism. Konsep Struktur
1.9        Pasca-Strukturalisme
1.10    Prinsip Intertekstualitas atau Hubungan Antarteks
1.11    Kenisbian Konseop Struktur, dan Peranan Pembaca SelakuPemberi Makna
1.12    Analisis Struktur dan Fungsi Kemasyarakatan Karya Sastra
1.13    Strukturalisme Genetik
1.14    Kesimpulan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar