1.1
Teori
Aristoteles Mengenai Struktur Karya Sastera
Setelah membicarakan beberapa aspek
karya sastera yang berkaitan langsung dengan masalah sistem bahasa dan sistem
sastera sekarang dibahas empat pendekatan terhadap karya sastera yang
disarankan oleh model Abrams yang pada prinsipnya sesuai dengan model semiotik
lainnya, yaitu pendekatan objektif, kespresif, pragmatik, dan mimetik. Dalam
bab ini akan diteliti pendekatan objektif, yaitu pendekatan yang menekankan
karya sastera sebagai struktur yang sedikit banyak bersifat otonom.
Pendekatan objektif sesungguhnya
sama tuanya di dunia Barat dengan puitika sebagai cabang ilmu pengetahuan.
Aristoteles, dalam bukunya yang berjudul Poetika,
Yang ditulis sekitar tahun 340 SM di Athena, meletakkan dasar yang kuat untuk
pandangan yang menganggap karya sastera sebagai struktur yang otonom. Untuk
terjemahan Inggris, tulisan Aristoteles, saya mengacu pada buku Dorsch, Classical Literary Criticism (1974) atau
pada Ancient Literary Cricitism
(1972), atau dalam bahasa Belanda, pada Bal dan kawan-kawan (1981). Untuk
pembahasan Aristoteles lihat pula Daiches (1956, bab II). Dalam Bab IV telah dibicarakan
secara singkat pembahasan masalah jenis sastera yang terdapat dalam Poetika Aristoteles. Masalah struktur
karya sastera dibicarakannya dalam rangka pembahasan tragedi, khususnya dalam
pasal-pasal mengenai plot. Menurut pandangan Aristoteles dalam tragedi yang
terpenting adalah action (tindakan)
bukan character (watak). Efek tragedi
dihasilkan oleh aksi plotnya, dan untuk menghasilkan efek yang baik plot harus
mempunyai wholeness (keseluruhan); untuk itu harus dipenuhi empat syarat utama,
yang dalam terjemahan Inggris disebut order,
amplitude, atau complexity, unity dan
connection atau coherence. Order berarti urutan dan aturan: urutan aksi harus
teratur, harus menunjukkan konsekuensi dan konsistensi yang masuk akal terutama
harus ada awal, pertengahan dan akhir yang tidak sembarangan. Amplitude (atau complexity) berarti bahwa luasnya ruang lingkup dan kompleksitas
karya harus cukup untuk memungkinkan perkembangan peristiwa yang masuk akal
ataupun yang harus ada untuk menghasilkan peredaran dari nasib baik ke nasib
buruk atau sebaliknya. Unity berarti
bahwa semua unsur dalam plot harus ada, tak mungkin tiada dan tidak bisa
bertukar tempat tanpa mengacaukan atau membinasakan keseluruhannya. Connection atau coherence berarti bahwa sasterawan tidak bertugas untuk menyebutkan
hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi, melainkan hal-hal yang mungkin atau harus
terjadi dalam rangka keseluruhan plot itu. Justru hal ini merupakan perbedaan
hakiki antara sasterawan dan sejarawan; sejarawan menceritakan yang terjadi,
sedangkan sasterawan menceritakan peristiwa atau kejadian yang masuk akal atau
harus terjadi, berdasarkan konsistensi dan logika ceritanya. Dalam hubungan ini
juga dibicarakan masalah efek estetik; alangkah baik kalau peristiwa yang
merupakan plot itu, walaupun mempunyai konsistensi dan koherensi, namun
mengadakan kejutan pada pembaca yang pada awalnya tidak sadar akan koherensi
peristiwa plot tersebut: “when things
happen unexpectedly but because of each other….. emotion (are) most likely to
be stirred” (justru bilamana hal-hal terjadi secara tak diharapka tetapi
karena perkaitan satu sama lain, maka paling besar kemungkinannya keterharuan
atau rasa akan digerakkan) (Ancient
Literary Criticism, 103).
Jadi keteraturan dan susunan plot
yang masuk akal, ruang lingkup yang cukup luas, kesatuan dan keterkaitan plot
disebut Aristoteles sebagai syarat utama, khususnya untuk tragedi; tetapi
syarat yang sama pada prinsipnya berlaku pula untuk epik dan untuk seni kata
umumnya. Sesungguhnya syarat itu sejak Aristoteles secara implisit dan
eksplisit, selalu diajukan sebagai syarat mutlak untuk karya sastera yang
berhasil dan bernilai. Kesatuan, keseluruhan, kebulatan, keterjalinan, istilah
mana pun dapat dipakai unutk mengungkapkan konvensi utama yang menguasai dan
mengarahkan pembaca dalam tanggapannya dan penilaiannya terhadap karya sastera.
Kita selalu mencoba memahami fungsi anasir-anasir atau peristiwa-peristiwa
dalam sebuah cerita dalam rangka keseluruhan plotnya, dan sebaliknya kita
membina interpretasi plot atas dasar pengikutsertaan sebanyak mungkin bagian
atau anasir cerita. Tidak ada hukuman yang lebih berat bagi karya sastera
daripada tudingan seorang kritik sastra yang menyimpulkan, “Karya ini tidak ada
ujung pangkalnya”, atau “Karya itu tidak keruan, tidak masuk akal plotnya,”
ataupun “Fungsi dan peranan para tokoh atau peristiwa tidak dapat
dipertangguang jawabkan dalam keseluruhan cerita ini.”
Konsepsi Aristoteles mengenai wholeness, unity, complexity, coherence
seluruh plot tidak pernah menghilang lagi dari dunia sastera Barat, dan
dipegang serta dipertahankan secara cukup setia baik oleh penulis atau pembaca
Barat, sebagai konvensi dasar seni sastera. Malahan mungkin sekali oleh pembaca
dan ahli teori sastera Barat konvensi ini dianggap sesuatu yang wajar, alamiah,
ataupun universal. Tetapi kalau dibahas beberapa konsep puitika Cina dan India
dapat dilihat bahwa dilingkungan kebudayaan lain konvensi tersebut jauh lebih
kurang kuatnya, atau malahan sama sekali tidak dipegang secara umum atau dalam
jenis sastera tertentu.
1.2
Struktur
Karya Sastera dan Lingkaran Hermeneutik
Anggapan atau asumsi dasar bahwa karya
sastera, dan umumnya suatu uraian, merupakan keseluruhan yang bagian-bagian
atau anasir–anisrnya masing-masing berjalinan menimbulkan masalah teori yang
seringkali dibahas, baik dalam ilmu sastera maupun filsafat, dengan istilah
lingkaran hermeutik (lihat di antara banyak tulisan lain, Vietor, 1952: 305-6 yang merujuk
pada tulisan Dilthey dan Schleiermacher). Hermeneutik adalah ilmu atau keahlian
menginterpretasi karya sastera dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas
menurut maksudnya. Proses penafsiran kalau dipikirkan baik-baik, selalu
menghadapi kesulitan metodis; kalau benar anasir-anasir serta bagian-bagian
teks tertentu baru dan hanya mendapat makna yang sepenuhnya dan sebenarynya
dalam keseluruhan karya itu, sedangkan sebaliknya keseluruhan karya dibina
maknanya atas dasar makna anasir-anasir dan bagian-bagiannya, dimanakah
interpretasi harus kita mulai? Kita seolah-olah menghadapi lingkaran setan yang
tidak memungkinkan kita luput darinya: interpretasi keseluruhannya tidak dapat
dimulai tanpa pemahaman bagian-bagiannya, tetapi interpretasi bagian
mengandaikan lebih dahulu pemahaman keseluruhan karya itu. Dalam praktek
interpretasi sastera lingkaran itu dipecahkan secara dialektis, bertangga, dan
lingkarannya sebenarnya bersifat spiral: mulai dari interpretasi menyeluruh
yang bersifat sementara kita berusaha unutk menafsirkan anasir-anasirnya sebaik
mungkin; penafsiran bagian-bagian pada gilirannya menyanggupkan kita untuk
memperbaiki pemahamankeseluruhan karya, kemudian interpretasi itulah pula yang
memungkinkan kita untuk memahami secara lebih tepat dan sempurna
bagian-bagiannya, dan seterusnya; sampai pada akhirnya kita mencapai taraf
penafsiran dimana diperoleh integrasi makna total dan makna bagian yang
optimal. Sudah tentu, dalam proses interpretasi sering kali kita mengubah
interpretasi awal; kalau pemahaman bagian tidak cocok dengan pemahaman keseluruhan
kita mencari jalan untuk menyesuaikan kedua-duanya, dengan meninjau kembali
salah satu diantaranya atau malahan kedua-duanya. Pada pembaca awam proses
penafsiran biasanya berlaku secara implisit dan tidak sadar; hanya penafsiran
ilmiah atau profesionallah (pengkritik sastera!) yang mencoba menyadari proses
bertangga dan interpretasi sebuah karya. Tetapi pada prinsipnya tidak ada
perbedaan antara proses tak sadar pembaca awam dan proses sadar seorang ahli.
Yang jelas pula: proses interpretasi
yang bertangga didasarkan pada asumsia atau konvensi ataupun aksioma bahwa teks
yang dibaca mempunyai kesatuan, keseluruhan, kebulatan makna dan koherensi
intrinsik. Dalam masyarakat sastera yang menganut konvensi dasar bahwa karya
tidak harus mempunyai makna yang homogen, menyeluruh dan terintegrasi (seperti
yang tadi telah disebutkan tentang
sastera India dan Cina), proses interpretasi tidak mungkin dikuasai oleh
lingkaran hermeneutik yang hanya dapat dipecahkan secara bertangga. Tetapi
tentang tradisi sastera di dunia Barat yang dominan dapat dikatakan bahwa
secara eksplisit atau implisit prinsip struktur koheren tadi dipertahankan;
pembaca Barat yang baik atau dianggap baik dari awal mulanya berlatih dan
dilatih (di sekolah!) untuk memecahkan lingkaran hermeneutik dan mencari makna
total sebuah karya sastera; setiap bagian dari anasir karya itu diberi tempat
yang selayaknya dalam penafsiran karya yang menyeluruh, sekaligus menyumbangkan
aspek hakikipada keseluruhan makna karya tersebut. Kalau seorang pembaca tidak
berhasil mencapai interpretasi integral dan total, hanya ada dua kemungkinan;
karya itu gagal, atau pembaca bukanlah pembaca yang baik; kemungkinan ketiga
tidak ada. Dan, sudah tentu, penulis di lingkungan kebudayaan Barat melakukan
usaha yang sama,dia pun terikat pada konvensi itu; atau, kalaupun dia
memberanikan diri untuk menyimpang dari konvensi tersebut (sepert yang dapat
dilihat dalam karya sastera moderna tertentu) penyimpangan itu harus dan dapat
kita pahami hanya dengan latar belakang konvensi dasar itu sendiri.
1.3
Kekurangan
Minat untukStruktur Karya Sastera pada Abad Kesembilan Belas
Namun walaupun pendekatan objektif
tidak pernah hilang dari tradisi hermeneutik Barat, harus dikatakan bahwa,
misalnya, pada abad ke-19 dalam teori dan kritik sastera minat pada karya demi
karya itu sendiri tidak dominan. Dalam bab II telah diuraikan bahwa dalam
kritik sastera abad ke-19 pendekatan ekspresif sangat ditonjolkan. Penyair,
jiwanya, kreativitasnya, genialitasnyalah yang menjadi pusat perhatian para pengkritik
dan ahli sastera, dan karya sastera “hanyalah” atau terutama menjadi jalan atau
sarana untuk memahami jiwa penyair. Sedang pendekatan lain yang diutamakan
dalam ilmu sastera pada abad ke-19 adalah sejarah sastera yang juga sering
mengabaikan karya sebagai keseluruhan makna; pada abad itu segala bidang ilmu
kemanusiaan berorientasi sejarah: bentuk bahasa purbalah yang dilacak, misalnya
bahasa Indo-Eropa, bahasa Austronesia purba dan lain-lain. Dengan sendirinya
ilmu bahasa menjadi cukup atomistis, lebih memperhatikan sejarah unsur-unsur
bahasa (bunyi, awalan atau akhiran, etimologi kata tertentu) daripada bahsa
sebagai totalitas. Demikian pula dalam ilmu sastera terutama ditelusuri sejarah
unsur-unsur sastera, motif, atau tema terteantu dilacak perkembangannya
sepanjang sejarah, sampai ke bentuk asli atau purba : motif Oedipus, Faust,
motif cerita Rama, Panji, dan lain-lain. Dalam penelitian sastera Indonesia
terutama diperhatikan asal-usul teks Melayu atau Jawa dalamsastera Arab, Parsi
atau India; Kern, misalnya, membandingkan cerita atau tokoh wayang Jawa dengan
bentuk cedrita atau tokoh yang sama dalam sastera Sanskerta, sambil mencoba
menjelaskan penyimpangan dan kekeliruannya. Demikian pula Van Ronkel, ahli
sastera Melayu yang terkenal, walaupun kebanyakan karya ilmiahnya ditulisnya pada abad ke-20, dari
segi pendekatannya termasuk ke-19, dengan usahanya untuk mengambalikan
teks-teks Melayu pada bentuk aslinya dalam bahasa Arab atau Parsi. Dan
Winstedt, sarjana lain dari abad ke-20 yang tetap menganut prinsip
sejarah–komparatif dari abad ke-19, dalam bukunya terkenal, A History of (Classical) Malay Literature (1940),
memekai kerangka yang jelas memperlihatkan pendekatan historis: Sastra Melayu
dibagi-bagi menurut gelombang-gelombang pengaruh asing yang dianggap atau
diandaikan berturut-turut melanda dunia Melayu, bukan berdasarkan ciri-ciri
kahs Melayu pada sastera tersebut tersebut (lihat pula Bab XI). Pendekatan
semacam ini khas untuk ilmu sastera abad ke-19 di Barat.
Yang popular pula pada abad ke-19
ialah pendekatan yang melihat sastera pertama-tama sebagai sarana untuk
memahami aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas, terutama agama, sejarah atau
aspek kemasyarakatan. Itu pun dapat diperlihatkan di bidang studi sastera
Indonesia, mulai dari abad ke-19 hingga jauh ke dalam abad ini: hal itu
diakibatkan atau diperkuat lagi karena peneliti sastera sering kali bekerja
selaku penyebar agama, penerjemah Al-Kitab, arkeolog atau sejarawan ataupun
pamong praja. Teks-teks Jawa Kuno, Jawa, Melayu, Aceh dan lain-lain
dimanfaatkan untuk memeperjelas aspek kebudayaan tertentu , tetapi sering kali
kurang mendapat perharian sebagai aspek kebudayaan tersendiri yang memeerlukan
pendekatan khas, yang cocok dengan sifat sebagai sastera. Dalam menggunakan
karya sastera untuk penelitian kebudayaan unsur-unsur atau bagian-bagaian
tertentu teks tersebut dibahas, sering kali lepas dari konteks keseluruhannya.
Sastera sebagai gejala kebudayaan yang mandiri masih kurang mendapat perhatian,
baik di Barat maupun dalam penelitian sastera Indonesia.
1.4
Munculnya
Minat pada Struktur Karya Sastera
Di Barat dapat dilihat perubahan
haluan yang berangsur-angsur dalam ilmu sastera pada abad ke-20. Pergeseran yang
umum dapat dilihat di bidang ilmu-ilmu kemanusiaan ialah pergeseran dari
pendekatan historis atatu diakronis ke arah pendekatan sinkronis, sekaligus
dapat disaksikan secara khas pergeseran dari pendekatan sastera sebagai sarana
untuk pengetahuan lain ke arah sastera sebagai bidang kebudayaan yang otonom.
Di bidang ilmu bahasa telah disebut nama Ferdinan de Saussure, yang membawa
perputaran perspektif yang cukup radikal dari pendekatan diakronis ke
pendekatan sinkronis, penelitian bahasa menurut pendapata ini harus
mendahulukan bahasa sebagai sistem yang sinkronis; makna dan fungsi
unsur-unsurnya hanya dapat dipahami dalam keterkaitannnya dengan unsur-unsur
lain; sifat utama bahasa sebagai sistem tanda ialah sifat relasionalnya, yang
berarti bahwa keseluruhan relasi atau oposisi antara unsur-unsur dan
aspek-aspeknya harus diteliti dan dipahami terlebih dahulu; baru kemudian
secara efektif dapat ditelusuri perubahannya dalam sejarah. Konsepsi demikian
merupakan awal mula aliran atau mazhab ilmu bahasa yang disebut strukturalisme,
yang kemudian berpuluh-puluh tahun lamanya menjadi dominan dalam ilmu bahasa,
baik di Eropa dengan berbagai pusat yang masing-masing ada keistimewaannya atau
tekannya yang khas: Jenewa, Paris, Praha, Kopenhagen, Amsterdam, maupun di Amerika
Serikat dengan Sapir dan Bloomfield sebagai tokoh utama pada tahap awal. Dalam
ilmu bahasa Indonesia pendekatan struktural yang eksplisit baru mulai ada
dengan karya Uhlenbeck (kini tersedia dalam bahasa Indonesia: 1982) mengenai
struktur bahasa Jawa, maupun peneliti sabeelum perang, mulai dari Roorda dan
Vander Tuuk pada pertengahan abad ke-19 sampai ke Adriani dan Esser pada abad
ke-20 secara implisit dan intuitif dalam
karya deskriptifnya mengenai bahasa-bahasa daerah sering kali menerapkan semacam
pendekatan struktural.
Di bidang antropologi budaya
pendekatan struktural juga muncul pada awal abad ke-20, dengan peneliti Prancis
seperti Durkheim dan Mauss sebagai pelopornya. Di bidang studi antropologi
(pada waktu itu disebut etnologi atau dalam bahasa Belanda volkenkunde) mengenai Indonesia aliran strukturalis secara cukup
menonjol diwakili oleh J.P.B. de Josselin de jong dan W.H. Ressers, dengan
murid-muridnya yang termasuk mazhab Leiden, yang hasil-hasilnya mencapai taraf
internasional (lihat The Nature of
Structure).
1.5
Aliran
Formalis di Rusia
1.6
Pendekatan
Struktural dan Gerakan Otonomi
1.7
Tentang
Analisis Struktur Karya Sastera
1.8
Empat
Kelemahan Strukturalisme, Khususnya NewCricitism.
Konsep Struktur
1.9
Pasca-Strukturalisme
1.10
Prinsip
Intertekstualitas atau Hubungan Antarteks
1.11
Kenisbian
Konseop Struktur, dan Peranan Pembaca SelakuPemberi Makna
1.12
Analisis
Struktur dan Fungsi Kemasyarakatan Karya Sastra
1.13
Strukturalisme
Genetik
1.14
Kesimpulan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar