PABRIK
Karya:
Kuntowijoyo
Di
sini dilahirkan raksasa
bertulang
besi bersaraf baja
tidak
perlu nyayi
dan
ninabobo bidadari
Berjalan
sedetik sesudah turun dari kandungan
melambaikan
tangan
Aduh,
jari-jarinya gemerlap bagai halilintar
Laki-laki
dan perempuan
datang
menghormat
ia
pun mengulurkan tangan
untuk
dicium.
Sesungguhnya
ia dilahirkan dari rahim bumi
oleh
tangan lelaki
Sesungguhnya
ia dicipta dari tanah
untuk
membantu ayah
mengembala
kambing dan menyabit rumputan.
Sayang,
mereka sangat memanjakannya
hingga
raksasa itu jadi anak nakal
mengganggu
ketenteraman tidur.
Awaslah,
jangan lagi engkau melahirkan
anak-anak
yang bakal jadi pembunuhmu.
Parafrase:
PABRIK
Di
sini (telah) dilahirkan raksasa
(Yang)
bertulang besi (dan) bersaraf baja
Tidak
perlu (ber-)nyanyi
Dan
(me-)ninabobo(kan) bidadari (untuknya)
(dia
bahkan langsung) berjalan sedetik sesudah turun dari kandungan
(kemudian)
melambaikan tangan
Aduh,
jari-jarinya (bahkan) gemerlap bagai(-kan) halilintar
Laki-laki
dan perempuan
Datang
menghormat (padanya)
Ia
pun mengulurkan tangan (pada mereka)
Untuk
dicium
Sesungguhnya
ia dilahirkan dari rahim bumi
Oleh
tangan lelaki
(dan)
sesungguhnya ia dicipta(-kan) dari tanah
Untuk
membantu ayah
Mengembala
kambing dan menyabit rumputan
(namun)
sayang, mereka sangat memanjakannya
(se)hingga
raksasa itu jadi anak (yang) nakal
(yang
kerjanya) mengganggu ketenteraman tidur
Awaslah,
jangan lagi engkau melahirkan
Anak-anak
yang (nantinya) bakal jadi pembunuhmu
Ketidaklangsungan
Ekspresi Puisi
Menurut Riffaterre
ketidaklangsungan pernyataan puisi itu disebabkan oleh tiga hal: penggantian
arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. Berikut ini akan dijelaskan
ketidaklangsungan ekspresi puisi dalam puisi Pabrik karya
Kuntowijoyo.
- Penggantian Arti
Menurut Riffaterre
dalam Pradapo (1987: 212), pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti
sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi. Metafora adalah bahasa
kias yang membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain tanpa kata pembanding.
Adapun metonimi adalah bahasa kias berupa
penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat
dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut
Di
sini dilahirkan raksasa bertulang besi bersaraf baja,
jika mendengar kata raksasa kita sering
mengiterpretasikannya pada makhluk yang besar, suka semaunya sendiri, dank
arena berukuan besar, dia sering menindas kaum yang memiliki ukuran yang lebih
kecil darinya, inimerupakan metonimi, bertulang
besi bersaraf baja sendiri merupakan metafora. Kalimat tersebut hendak
mengungkapkan dia memiliki tulang yang bagaikan besi dan saraf yang bagaikan
baja sehingga sifat kemanusiaan yang seharusnya dimillikinya sudah tidak ada
lagi. Kalimat tidak perlu nyanyi dan
ninabobo bidadari juga merupakan metonimi yang seakan ingin mengungkapakan
bahwa dia tidak dapat dinasehati atau diperingatkan lagi. Berjalan sedetik sesudah
turun dari kandungan melambaikan tangan dapat diartikan bahwa setelah dia
berhasil, dia melupakan asalnya dan pergi. Aduh,
jari-jarinya gemerlap bagai halilintar, kalimat ini merupakan simile. Simile
adalah bahasa kias yang membandingkan suatu hal dengan hal lain disertai dengan
kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama,
laksana, dan kata-kata pembanding lainnya. Kalimat tersebut ingin mengungkapkan
bahwa jari-jarinya memang gemerlap bagai halilintar, namun seperti yang kita
ketahui bersama bahwa halilintar juga dapat membahayakan kita jika kita terkena
olehnya, karena halilintar sendiri memiliki daya listrik yang bahkan dapat
mematikan kita. Ia bahkan mengulurkan tangan untuk dicium oleh orang yang menghormatinya
padahal dia memiliki jari yang bagai halilintar, yang berarti dia mengancam
keselamatan dan membahayakan orang-orang yang menghormatinya.
2.
Penyimpangan Arti
Dikemukakan
Riffaterre bahwa penyimpangan arti terjadi bila dalam puisi ada ambiguitas, kontradiksi
ataupun nonsense.. Ambiguitas adalah penafsiran bermacam-macam arti atau makna
terhadap suatu ungkapan atau kata. Kontradiksi adalah salah satu cara menyampaikan
maksud secara berlawanan atau kebalikannya (Pradopo, 1999:215). Nonsense adalah
kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti atau kata-kata yang
merupakan ciptaan penyair sendiri (Pradopo, 1999: 219). Penyimpangan arti yang
muncul pada puisi Pabrik adalah ambiguitas. Kita dapat langsung
menemukannya pada baris pertama, Di sini
dilahirkan raksasa. Adanya kata raksasa menimbulkan penafsiran yang
bermacam-macam, apakah yang dimaksud adalah orang yang memiliki badan yang
tinggi besar layaknya seorang raksasa, atau orang itu jahat seperti raksasa
yang sering muncul dalam cerita-cerita rakyat, dan lain sebagainya.
3.
Penciptaan Arti
Penciptaan arti dipengaruhi oleh sajak
(rima), enjambemen, dan tipografi. Sajak (rima) adalah persamaan bunyi akhir
kata. Bunyi ini berulang secara terpola dan biasanya terdapat di akhir baris
saja, tetapi kadang-kadang terletak di awal atau di tengah baris. Enjambemen
adalah kata atau frasa atau baris puisi yang berfungsi ganda yakni
menghubungkan bagian yang mendahului dengan bagian yang mengikutinya. Artinya,
sebuah kelompok kata dipenggal, dan penggalannya dipindah ke baris berikutnya.
Tipografi merupakan aspek bentuk visual puisi yang berupa tata hubungan dan
tata baris. Tipografi kadang disebut sebagai susunan baris puisi dan ada pula
yang menyebutnya sebagai ukiran bentuk. Tipografi dalam puisi dipergunakan
untuk mendapatkan bentuk yang menarik supaya indah dipandang oleh pembaca.
Adapun dalam puisi Pabrik di atas, penciptaan arti yang terjadi adalah enjambemen.
Enjambemen ini dapat dilihat hampir pada seluruh puisi tersebut, dua
diantaranya:
1.
Di sini dilahirkan
raksasa
bertulang besi bersaraf baja
tidak perlu nyayi
dan ninabobo bidadari
2.
Sayang, mereka
sangat memanjakannya
hingga raksasa itu jadi anak nakal
mengganggu ketenteraman tidur.
Penciptaan arti berupa sajak
(rima) dan tipografi tidak terjadi pada puisi di atas, contohnya dapat kita
lihat pada puisi Keharuan karya
Subagio Sastrowardojo berikut.
Keharuan
Aku tak terharu lagi
sejak bapak tak
menciumku di ubun.
Aku tak terharu lagi
sejak perselisihan tak
selesai dengan ampun.
Keharian menawan
ketika bung Karno
bersama rakyat
teriak “Merdeka” 17
kali.
Keharuan menawan
ketika pasukan gerilya
masuk jogja
sudah kita rebut
kembali.
Aku rindu keharuan
waktu hujan membasah
bumi
sehabis kering sebulan.
Aku rindu keharuan
waktu bendera dwiwarna
berkibar di taman
pahlawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar