Jumat, 22 Juni 2012

Ketidaklangsungan Ekspresi Pabrik (karya Kuntowijoyo)



PABRIK
Karya: Kuntowijoyo
Di sini dilahirkan raksasa
bertulang besi bersaraf baja
tidak perlu nyayi
dan ninabobo bidadari
Berjalan sedetik sesudah turun dari kandungan
melambaikan tangan
Aduh, jari-jarinya gemerlap bagai halilintar
Laki-laki dan perempuan
datang menghormat
ia pun mengulurkan tangan
untuk dicium.

Sesungguhnya ia dilahirkan dari rahim bumi
oleh tangan lelaki
Sesungguhnya ia dicipta dari tanah
untuk membantu ayah
mengembala kambing dan menyabit rumputan.
Sayang, mereka sangat memanjakannya
hingga raksasa itu jadi anak nakal
mengganggu ketenteraman tidur.

Awaslah, jangan lagi engkau melahirkan
anak-anak yang bakal jadi pembunuhmu.

Parafrase:

PABRIK
Di sini (telah) dilahirkan raksasa
(Yang) bertulang besi (dan) bersaraf baja
Tidak perlu (ber-)nyanyi
Dan (me-)ninabobo(kan) bidadari (untuknya)
(dia bahkan langsung) berjalan sedetik sesudah turun dari kandungan
(kemudian) melambaikan tangan
Aduh, jari-jarinya (bahkan) gemerlap bagai(-kan) halilintar
Laki-laki dan perempuan
Datang menghormat (padanya)
Ia pun mengulurkan tangan (pada mereka)
Untuk dicium
Sesungguhnya ia dilahirkan dari rahim bumi
Oleh tangan lelaki
(dan) sesungguhnya ia dicipta(-kan) dari tanah
Untuk membantu ayah
Mengembala kambing dan menyabit rumputan
(namun) sayang, mereka sangat memanjakannya
(se)hingga raksasa itu jadi anak (yang) nakal
(yang kerjanya) mengganggu ketenteraman tidur

Awaslah, jangan lagi engkau melahirkan
Anak-anak yang (nantinya) bakal jadi pembunuhmu

Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi
Menurut Riffaterre ketidaklangsungan pernyataan puisi itu disebabkan oleh tiga hal: penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. Berikut ini akan dijelaskan ketidaklangsungan ekspresi puisi dalam puisi Pabrik karya Kuntowijoyo.
  1. Penggantian Arti
Menurut Riffaterre dalam Pradapo (1987: 212), pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi. Metafora adalah bahasa kias yang membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain tanpa kata pembanding. Adapun metonimi adalah bahasa kias berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut
Di sini dilahirkan raksasa bertulang besi bersaraf baja, jika mendengar kata raksasa kita sering mengiterpretasikannya pada makhluk yang besar, suka semaunya sendiri, dank arena berukuan besar, dia sering menindas kaum yang memiliki ukuran yang lebih kecil darinya, inimerupakan metonimi, bertulang besi bersaraf baja sendiri merupakan metafora. Kalimat tersebut hendak mengungkapkan dia memiliki tulang yang bagaikan besi dan saraf yang bagaikan baja sehingga sifat kemanusiaan yang seharusnya dimillikinya sudah tidak ada lagi. Kalimat tidak perlu nyanyi dan ninabobo bidadari juga merupakan metonimi yang seakan ingin mengungkapakan bahwa dia tidak dapat dinasehati atau diperingatkan lagi. Berjalan sedetik sesudah turun dari kandungan melambaikan tangan dapat diartikan bahwa setelah dia berhasil, dia melupakan asalnya dan pergi. Aduh, jari-jarinya gemerlap bagai halilintar, kalimat ini merupakan simile. Simile adalah bahasa kias yang membandingkan suatu hal dengan hal lain disertai dengan kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lainnya. Kalimat tersebut ingin mengungkapkan bahwa jari-jarinya memang gemerlap bagai halilintar, namun seperti yang kita ketahui bersama bahwa halilintar juga dapat membahayakan kita jika kita terkena olehnya, karena halilintar sendiri memiliki daya listrik yang bahkan dapat mematikan kita. Ia bahkan mengulurkan tangan untuk dicium oleh orang yang menghormatinya padahal dia memiliki jari yang bagai halilintar, yang berarti dia mengancam keselamatan dan membahayakan orang-orang yang menghormatinya.
2.      Penyimpangan Arti
Dikemukakan Riffaterre bahwa penyimpangan arti terjadi bila dalam puisi ada ambiguitas, kontradiksi ataupun nonsense.. Ambiguitas adalah penafsiran bermacam-macam arti atau makna terhadap suatu ungkapan atau kata. Kontradiksi adalah salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau kebalikannya (Pradopo, 1999:215). Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti atau kata-kata yang merupakan ciptaan penyair sendiri (Pradopo, 1999: 219). Penyimpangan arti yang muncul pada puisi Pabrik  adalah ambiguitas. Kita dapat langsung menemukannya pada baris pertama, Di sini  dilahirkan raksasa. Adanya kata raksasa menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam, apakah yang dimaksud adalah orang yang memiliki badan yang tinggi besar layaknya seorang raksasa, atau orang itu jahat seperti raksasa yang sering muncul dalam cerita-cerita rakyat, dan lain sebagainya.
3.      Penciptaan Arti
Penciptaan arti dipengaruhi oleh sajak (rima), enjambemen, dan tipografi. Sajak (rima) adalah persamaan bunyi akhir kata. Bunyi ini berulang secara terpola dan biasanya terdapat di akhir baris saja, tetapi kadang-kadang terletak di awal atau di tengah baris. Enjambemen adalah kata atau frasa atau baris puisi yang berfungsi ganda yakni menghubungkan bagian yang mendahului dengan bagian yang mengikutinya. Artinya, sebuah kelompok kata dipenggal, dan penggalannya dipindah ke baris berikutnya. Tipografi merupakan aspek bentuk visual puisi yang berupa tata hubungan dan tata baris. Tipografi kadang disebut sebagai susunan baris puisi dan ada pula yang menyebutnya sebagai ukiran bentuk. Tipografi dalam puisi dipergunakan untuk mendapatkan bentuk yang menarik supaya indah dipandang oleh pembaca. Adapun dalam puisi Pabrik di atas, penciptaan arti yang terjadi adalah enjambemen. Enjambemen ini dapat dilihat hampir pada seluruh puisi tersebut, dua diantaranya:
1.      Di sini dilahirkan raksasa
bertulang besi bersaraf baja
tidak perlu nyayi
dan ninabobo bidadari

2.      Sayang, mereka sangat memanjakannya
hingga raksasa itu jadi anak nakal
mengganggu ketenteraman tidur.

Penciptaan arti berupa sajak (rima) dan tipografi tidak terjadi pada puisi di atas, contohnya dapat kita lihat pada puisi Keharuan karya Subagio Sastrowardojo berikut.

Keharuan

Aku tak terharu lagi
sejak bapak tak menciumku di ubun.
Aku tak terharu lagi
sejak perselisihan tak selesai dengan ampun.

Keharian menawan
ketika bung Karno bersama rakyat
teriak “Merdeka” 17 kali.

Keharuan menawan
ketika pasukan gerilya masuk jogja
sudah kita rebut kembali.

Aku rindu keharuan
waktu hujan membasah bumi
sehabis kering sebulan.

Aku rindu keharuan
waktu bendera dwiwarna
berkibar di taman pahlawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar