Jumat, 22 Juni 2012

Sejarah Pengkajian Bahasa Indonesia-Ejaan

Sejak peraturan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin ditetapkan pada tahun 1901 berdasarkan rancangan Ch. A. van Ophuysen dengan bantuan Engku Nawawi gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, penyempurnaannya telah berkali-kali diusahakan. Pada tahun 1938, selama Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo, misalnya, disarankan agar ejaan Indonesia lebih banyak diin- ternasionalkan.
Pada tahun 1947 Soewandi, Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu, menetapkan dalam surat keputusannya tanggal 19 Maret 1947, No. 264/Bhg. A bahwa perubahan ejaan bahasa Indonesia dengan maksud membuat ejaan yang berlaku menjadi lebih sederhana. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan Ejaan Republik. Beberapa usul yang diajukan oleh panitia menteri itu belum dapat diterima karena masih harus ditinjau lebih jauh lagi. Namun, sebagai langkah pertama dalam usaha penyederhanaan dan penyelarasan ejaan dengan perkembangan bahasa, keputusan Soewandi pada masa pergolakan revolusi itu mendapat sambutan yang baik.
Kongres Bahasa Indonesia Kedua, yang diprakarsai Menteri Moehammad Yamin, diselenggarakan di Medan pada tahun 1954. Masalah ejaan timbul lagi sebagai salah satu mata acara pertemuan itu. Kongres itu mengambil keputusan supaya ada badan yang menyusun peraturan ejaan .praktis bagi bahasa Indonesia. Panitia yang dimaksud (Priyono-Katoppo, Ketua) yang dibentuk oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat keputusannya tanggal 19 Juli 1956, No. 44876/S, berhasil merumuskan patokan-patokan baru pada tahun 1957 setelah bekerja selama setahun.
Tindak lanjut perjanjian persahabatan antara Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1959, antara lain berupa usaha mempersamakan ejaan bahasa kedua negara itu. Maka pada akhir tahun 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu (Slametmuljana-Syed Nasir bin Ismail, Ketua) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu- Indonesia). Perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya mengurungkan peresmiannya.
Sesuai dengan laju pembangunan nasional, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan yang pada tahun 1968 menjadi Lembaga Bahasa Nasional, dan akhirnya pada tahun 1975 menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, menyusun program pembakuan bahasa Indonesia secara menyeluruh. Di dalam hubungan ini, Panitia Ejaan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (A.M. Moeliono, Ketua) yang disahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Sarino Mangunpranoto, sejak tahun 1966 dalam surat keputusannya tanggal 19 September 1967, No. 062/1967, menyusun konsep yang merangkum segala usaha penyempurnaan yang terdahulu. Konsep itu ditanggapi dan dikaji oleh kalangan luas di seluruh tanah air selama beberapa tahun.
2.1  Perubahan-Perubahan Hingga Ditetapkannya Ejaan yang Disempurnakan
            Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon. Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur". Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional di masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah.
Karena banyak pula kekurangan yang terlihat dalam pemakaian ejaan oleh Van Ophuijsen, maka para ahli bahasa perlu untuk menyempurnakan kembali van Ophuijsen. Dalam Putusan Menteri Pengasdjaran Pendidikan dan Kebudajaan, 15 April 1947, menyatakan perubahan ejaan bahasa Indonesia yang dikenal dengan nama Ejaan Soewandi. Banyaknya reaksi untuk mengadakan kembali perubahan ejaan dengan berbagai pertimbangan mengenai sejumlah kekurangan. Dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan yang menghasilkan berbagai keputusan yang kemudian ditindaklanjuti pada tahun 1957 dengan konsep ejaan yang disebut Ejaan Pembaharuan. Karena pertimbangan munculnya masalah baru yang dapat memengaruhi perkembangan ejaan bahasa Indonesia. Maka Ejaan Pembaharuan tidak digunakan, melainkan dengan disetujuinya perjanjian antara Republik Indonesia dengan Persekutuan Tanah Melayu yang menghasilkan konsep ejaan bersama yang disebut Ejaan Melindo.
Ketidaksetujuan atas konsep Melindo karena adanya huruf baru dikemukakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudajaan dengan membentuk kepanitiaan dan mengusulkan konsep baru yaitu Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) yang kemudian disahkan pada tanggal 19 September 1967 dalam Surat Keputusan No. 062/1967 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudajaan. Sejak itu mulai lagi usaha yang lebih pasti untuk memasyarakatkan sistem ejaan yang baru itu, disebut Ejaan yang Disempurnakan (EYD).
Perubahan-perubahan ejaan yang digunakan di Indonesia ini dimaksudkan agar ejaan yang berlaku di Indonesia semakin baik dan tentu saja lebih mudah digunakan dan lebih mudah dimengerti. Perubahan-perubahan ini juga sejalan dengan perkembangan zaman dan perkembangan bahasa di Indonesia. Contohnya pada ejaan republik yaitu penggunaan huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb. Untuk lebih memahaminya berikut adalah penyempurnaa ejaan di Indonesia.
2.2  Penyempurnaan ejaan
Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu/Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut:

1.      Ejaan van Ophuijsen

Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
  1. Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
  2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
  3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
  4. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.

2.      Ejaan Republik

Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
  1. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
  2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
  3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
  4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.

3.      Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)

Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.

4.      Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)

Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.
Perubahan:
Indonesia
(pra-1972)
Malaysia
(pra-1972)
Sejak 1972
tj
ch
c
dj
j
j
ch
kh
kh
nj
ny
ny
sj
sh
sy
j
y
y
oe*
u
u

  I.       Pemakaian huruf

1.      Huruf abjad. Ada 26 yang masing-masing memiliki jenis huruf besar dan kecil.
2.      Huruf vokal. Ada 5: a, e, i, o, dan u. Tanda aksen é dapat digunakan pada huruf e jika ejaan kata menimbulkan keraguan.
3.      Huruf konsonan. Ada 21: b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z.
    1. Huruf c, q, v, w, x, dan y tidak punya contoh di akhir kata.
    2. Huruf x tidak punya contoh di tengah kata.
    3. Huruf q dan x digunakan khusus untuk nama dan keperluan ilmu.
4.      Diftong. Ada 3: ai, au, dan oi.
5.      Gabungan konsonan. Ada 4: kh, ng, ny, dan sy.
6.      Pemenggalan kata
1.      Kata dasar
a.       Di antara dua vokal berurutan di tengah kata (diftong tidak pernah diceraikan): ma-in.
b.      Sebelum huruf konsonan yang diapit dua vokal di tengah kata: ba-pak.
c.       Di antara dua konsonan yang berurutan di tengah kata: man-di.
d.      Di antara konsonan pertama dan kedua pada tiga konsonan yang berurutan di tengah kata: ul-tra.
2.      Kata berimbuhan: Sesudah awalan atau sebelum akhiran: me-rasa-kan.
3.      Gabungan kata: Di antara unsur pembentuknya: bi-o-gra-fi
7.      Huruf kapital
1.      Huruf pertama pada awal kalimat
2.      Huruf pertama petikan langsung
3.      Huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan
4.      Huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang (tidak berlaku jika tidak diikuti nama orang)
5.      Huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau pengganti nama orang, nama instansi, atau nama tempat (tidak berlaku jika tidak diikuti nama orang, instansi, atau tempat)
6.      Huruf pertama unsur-unsur nama orang (tidak berlaku untuk nama orang yang digunakan sebagai nama sejenis atau satuan ukuran)
7.      Huruf pertama nama bangsa, suku, dan bahasa (tidak berlaku untuk nama bangsa, suku, dan bahasa yang dipakai sebagai bentuk dasar kata turunan)
8.      Huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah (tidak berlaku untuk peristiwa sejarah yang tidak dipakai sebagai nama)
9.      Huruf pertama nama geografi (tidak berlaku untuk istilah geografi yang tidak menjadi unsur nama diri dan nama geografi yang digunakan sebagai nama jenis)
10.  Huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata seperti "dan" yang tidak terletak pada posisi awal, termasuk semua unsur bentuk ulang sempurna
11.  Huruf pertama kata di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan kecuali kata seperti "dan" yang tidak terletak pada posisi awal, termasuk semua unsur bentuk ulang sempurna
12.  Huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan. Gelar akademik: Kepmendikbud 036/U/1993.
13.  Huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan paman yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan (tidak berlaku jika tidak dipakai dalam pengacuan atau penyapaan)
14.  Huruf pertama kata ganti Anda
8.      Huruf miring
1.      Nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan
2.      Huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata yang ditegasan atau dikhususkan
3.      Kata nama ilmiah atau ungkapan asing kecuali yang telah disesuaikan ejaannya

  II.     Penulisan kata

1.      Kata dasar. Ditulis sebagai satu kesatuan
2.      Kata turunan
1.      Ditulis serangkai dengan kata dasarnya: dikelola, permainan
2.      Imbuhan ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya, tapi unsur gabungan kata ditulis terpisah jika hanya mendapat awalan atau akhiran: bertanggung jawab, garis bawahi
3.      Imbuhan dan unsur gabungan kata ditulis serangkai jika mendapat awalan dan akhiran sekaligus: pertanggungjawaban
4.      Ditulis serangkai jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi: adipati, narapidana
5.      Diberi tanda hubung jika bentuk terikat diikuti oleh kata yang huruf awalnya adalah huruf kapital: non-Indonesia
6.      Ditulis terpisah jika kata maha sebagai unsur gabungan diikuti oleh kata esa dan kata yang bukan kata dasar: maha esa, maha pengasih
3.      Kata ulang. Ditulis lengkap dengan tanda hubung: anak-anak, sayur-mayur
4.      Gabungan kata
1.      Ditulis terpisah antarunsurnya: duta besar, kambing hitam
2.      Dapat ditulis dengan tanda hubung untuk menegaskan pertalian di antara unsur yang bersangkutan untuk mencegah kesalahan pengertian: alat pandang-dengar, anak-istri saya
3.      Ditulis serangkai untuk 47 pengecualian: acapkali, adakalanya, akhirulkalam, alhamdulillah, astagfirullah, bagaimana, barangkali, bilamana, bismillah, beasiswa, belasungkawa, bumiputra, daripada, darmabakti, darmasiswa, dukacita, halalbihalal, hulubalang, kacamata, kasatmata, kepada, keratabasa, kilometer, manakala, manasuka, mangkubumi, matahari, olahraga, padahal, paramasastra, peribahasa, puspawarna, radioaktif, sastramarga, saputangan, saripati, sebagaimana, sediakala, segitiga, sekalipun, silaturahmi, sukacita, sukarela, sukaria, syahbandar, titimangsa, wasalam
5.      Kata ganti
1.      Ku dan kau ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya: kusapa, kauberi
2.      Ku, mu, dan nya ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya: bukuku, miliknya
6.      Kata depan. di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali daripada, kepada, kesampingkan, keluar, kemari, terkemuka
7.      Kata sandang. si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya: sang Kancil, si pengirim
8.      Partikel
1.      Partikel -lah, -kah, dan -tah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya: betulkah, bacalah
2.      Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya: apa pun, satu kali pun
3.      Partikel pun ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya untuk adapun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, maupun, meskipun, sekalipun, sungguhpun, walaupun
9.      Singkatan dan akronim
1.      Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti dengan tanda titik: A.S. Kramawijaya, M.B.A.
2.      Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik: DPR, SMA
3.      Singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti satu tanda titik: dst., hlm.
4.      Singkatan umum yang terdiri atas dua huruf diikuti tanda titik pada setiap huruf: a.n., s.d.
5.      Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda titik: cm, Cu
6.      Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya dengan huruf kapital: ABRI, PASI
7.      Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital: Akabri, Iwapi
8.      Akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil: pemilu, tilang
10.  Angka dan lambang bilangan. Angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor yang lazimnya ditulis dengan angka Arab atau angka Romawi.
1.     Fungsi
1.      menyatakan (i) ukuran panjang, berat, luas, dan isi (ii) satuan waktu (iii) nilai uang, dan (iv) kuantitas,
2.      melambangkan nomor jalan, rumah, apartemen, atau kamar pada alamat,
3.      menomori bagian karangan dan ayat kitab suci,
2.     Penulisan
1.      Lambang bilangan utuh dan pecahan dengan huruf
2.      Lambang bilangan tingkat
3.      Lambang bilangan yang mendapat akhiran -an
4.      Ditulis dengan huruf jika dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata, kecuali jika beberapa lambang bilangan dipakai secara berurutan, seperti dalam perincian dan pemaparan
5.      Ditulis dengan huruf jika terletak di awal kalimat. Jika perlu, susunan kalimat diubah sehingga bilangan yang tidak dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata tidak terdapat pada awal kalimat
6.      Dapat dieja sebagian supaya lebih mudah dibaca bagi bilangan utuh yang besar
7.      Tidak perlu ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam teks kecuali di dalam dokumen resmi seperti akta dan kuitansi
8.      Jika bilangan dilambangkan dengan angka dan huruf, penulisannya harus tepat

III.     Penulisan tanda baca

1.      Tanda titik
1.      Dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan
2.      Dipakai di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau daftar (tidak dipakai jika merupakan yang terakhir dalam suatu deretan)
3.      Dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan waktu atau jangka waktu
4.      Dipakai di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak berakhir dengan tanda tanya dan tanda seru, dan tempat terbit dalam daftar pustaka
5.      Dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya (tidak dipakai jika tidak menunjukkan jumlah)
6.      Tidak dipakai pada akhir judul yang merupakan kepala karangan atau kepala ilustrasi, tabel, dan sebagainya
7.      Tidak dipakai di belakang (1) alamat pengirim dan tanggal surat atau (2) nama dan alamat penerima surat
2.      Tanda koma
1.      Dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan
2.      Dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya yang didahului oleh kata seperti tetapi atau melainkan
3.      Dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mendahului induk kalimatnya (tidak dipakai jika anak kalimat itu mengiringi induk kalimatnya)
4.      Dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk di dalamnya oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun begitu, akan tetapi
5.      Dipakai untuk memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata yang lain yang terdapat di dalam kalimat
6.      Dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat (tidak dipakai jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru)
7.      Dipakai di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian alamat, (iii) tempat dan tanggal, dan (iv) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan
8.      Dipakai untuk menceraikan bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar pustaka
9.      Dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki
10.  Dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga
11.  Dipakai di muka angka persepuluhan atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka
12.  Dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi
13.  Dapat dipakai di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat untuk menghindari salah baca
3.      Tanda titik koma
1.      Dapat dipakai untuk memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis dan setara
2.      Dapat dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat yang setara di dalam kalimat majemuk
4.      Tanda titik dua
1.      Dapat dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian (tidak dipakai jika rangkaian atau perian itu merupakan pelengkap yang mengakhiri pernyataan)
2.      Dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian
3.      Dapat dipakai dalam teks drama sesudah kata yang menunjukkan pelaku dalam percakapan
4.      Dipakai (i) di antara jilid atau nomor dan halaman, (ii) di antara bab dan ayat dalam kitab suci, (iii) di antara judul dan anak judul suatu karangan, serta (iv) nama kota dan penerbit buku acuan dalam karangan
5.      Tanda hubung
1.      Dipakai untuk menyambung suku-suku kata dasar yang terpisah oleh penggantian baris (Suku kata yang berupa satu vokal tidak ditempatkan pada ujung baris atau pangkal baris)
2.      Dipakai untuk menyambung awalan dengan bagian kata di belakangnya atau akhiran dengan bagian kata di depannya pada pergantian baris (Akhiran -i tidak dipenggal supaya jangan terdapat satu huruf saja pada pangkal baris)
3.      Dipakai untuk menyambung unsur-unsur kata ulang
4.      Dipakai untuk menyambung huruf kata yang dieja satu-satu dan bagian-bagian tanggal
5.      Dapat dipakai untuk memperjelas (i) hubungan bagian-bagian kata atau ungkapan, dan (ii) penghilangan bagian kelompok kata
6.      Dipakai untuk merangkaikan (i) se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital, (ii) ke- dengan angka, (iii) angka dengan -an, (iv) singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan atau kata, dan (v) nama jabatan rangkap
7.      Dipakai untuk merangkaikan unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa asing
6.      Tanda pisah
1.      Dipakai untuk membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan di luar bangun kalimat
2.      Dipakai untuk menegaskan adanya keterangan aposisi atau keterangan yang lain sehingga kalimat menjadi lebih jelas
3.      Dipakai di antara dua bilangan atau tanggal dengan arti 'sampai ke' atau 'sampai dengan'
4.      Dalam pengetikan, tanda pisah dinyatakan dengan dua buah tanda hubung tanpa spasi sebelum dan sesudahnya
7.      Tanda elipsis
1.      Dipakai dalam kalimat yang terputus-putus
2.      Dipakai untuk menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau naskah ada bagian yang dihilangkan
3.      Jika bagian yang dihilangkan mengakhiri sebuah kalimat, perlu dipakai empat buah titik; tiga buah untuk menandai penghilangan teks dan satu untuk menandai akhir kalimat
8.      Tanda tanya
1.      Dipakai pada akhir kalimat tanya
2.      Dipakai di dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian kalimat yang disangsikan atau yang kurang dapat dibuktikan kebenarannya
9.      Tanda seru
Dipakai sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupun rasa emosi yang kuat
10.  Tanda kurung
1.      mengapit keterangan atau penjelasan
2.      mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan bagian integral pokok pembicaraan
3.      mengapit huruf atau kata yang kehadirannya di dalam teks dapat dihilangkan
4.      mengapit angka atau huruf yang memerinci satu urutan keterangan
11.  Tanda kurung siku
1.      mengapit huruf, kata, atau kelompok kata sebagai koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis orang lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan atau kekurangan itu memang terdapat di dalam naskah asli
2.      mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah bertanda kurung
12.  Tanda petik
1.      mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan dan naskah atau bahan tertulis lain
2.      mengapit judul syair, karangan, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat
3.      mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal atau kata yang mempunyai arti khusus
4.      Tanda petik penutup mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan langsung.
5.      Tanda baca penutup kalimat atau bagian kalimat ditempatkan di belakang tanda petik yang mengapit kata atau ungkapan yang dipakai dengan arti khusus pada ujung kalimat atau bagian kalimat
6.      Tanda petik pembuka dan tanda petik penutup pada pasangan tanda petik itu ditulis sama tinggi di sebelah atas baris
13.  Tanda petik tunggal
1.      mengapit petikan yang tersusun di dalam petikan lain
2.      mengapit makna, terjemahan, atau penjelasan kata atau ungkapan asing
14.  Tanda garis miring
1.      dipakai di dalam nomor surat dan nomor pada alamat dan penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwim
2.      dipakai sebagai pengganti kata atau, tiap
15.  Tanda penyingkat
Menunjukkan penghilangan bagian kata atau bagian angka tahun

IV.     Perubahan Kepmendiknas 46/2009

  1. Tambahan: Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama unsur nama seperti de, van, der, von, atau da.
  2. Tambahan: Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata bin dan binti (pada beberapa nama tertentu).
  3. Tambahan: Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama pada kata, seperti keterangan, catatan, dan misalnya
  4. Tambahan: Huruf tebal
2.3  Pengaruh Penggunaan Ejaan yang Disempurnakan bagi Masyarakat Indonesia
            Besarnya pengaruh yang ditimbulkan dari penggunaan Ejaan yang Disempurnakan terhadap masyarakat Indonesia itu sendiri. Pengaruh ini terlihat dari banyaknya pengguna Bahasa Indonesia yang mampu menggunakan sistem Ejaan yang Disempurnakan dengan kaidah yang telah ditetapkan. Penggunaan ejaan yang disesuiakan dengan dasar-dasar bahasa Indonesia ini memang mengundang banyak perhatian dari berbagai pihak, khususnya pengguna bahasa Indonesia yaitu masyarakat Indonesia. Mengapa tidak, ini dikarenakan untuk penyesuaian ragam bahasa Indonesia yang telah terpengaruh oleh bahasa lain. Sehingga para ahli bahasa perlu untuk menyesuaikan kembali sistem ejaan dengan penggunaan sistem Ejaan yang Disempurnakan.
            Namun, penggunaan sistem Ejaan yang Disempurnakan itu tidak banyak memengaruhi semua pengguna bahasa. Karena masih banyaknya ditemukan kasus kesalahan ejaan atau ketidaksesuaian dengan Ejaan yang Disempurnakan. Ini disebabkan masih besarnya pengaruh sistem ejaan sebelumnya, sehingga masih banyaknya pengguna bahasa tidak menggunakan atau tidak mengetahu sistem ejaan yang telah ditetapkan saat ini.
Walaupun demikian, mempelajari penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan ini sangat penting karena walau tidak digunakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari di masyarakat, namun EYD digunakan dalam penulisan karya-karya ilmiah seperti penulisan surat resmi, skripsi, tesis, laporan penelitian, dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar