Sejak peraturan ejaan bahasa Melayu dengan huruf
Latin ditetapkan pada tahun 1901 berdasarkan rancangan Ch. A. van Ophuysen
dengan bantuan Engku Nawawi gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan
Ibrahim, penyempurnaannya telah berkali-kali diusahakan. Pada tahun 1938,
selama Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo, misalnya, disarankan agar
ejaan Indonesia lebih banyak diin- ternasionalkan.
Pada tahun 1947 Soewandi, Menteri Pengajaran,
Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu, menetapkan dalam surat keputusannya
tanggal 19 Maret 1947, No. 264/Bhg. A bahwa perubahan ejaan bahasa Indonesia
dengan maksud membuat ejaan yang berlaku menjadi lebih sederhana. Ejaan baru
itu oleh masyarakat diberi julukan Ejaan Republik. Beberapa usul yang
diajukan oleh panitia menteri itu belum dapat diterima karena masih harus
ditinjau lebih jauh lagi. Namun, sebagai langkah pertama dalam usaha
penyederhanaan dan penyelarasan ejaan dengan perkembangan bahasa, keputusan
Soewandi pada masa pergolakan revolusi itu mendapat sambutan yang baik.
Kongres Bahasa Indonesia Kedua, yang diprakarsai
Menteri Moehammad Yamin, diselenggarakan di Medan pada tahun 1954. Masalah
ejaan timbul lagi sebagai salah satu mata acara pertemuan itu. Kongres itu
mengambil keputusan supaya ada badan yang menyusun peraturan ejaan .praktis
bagi bahasa Indonesia. Panitia yang dimaksud (Priyono-Katoppo, Ketua) yang
dibentuk oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat
keputusannya tanggal 19 Juli 1956, No. 44876/S, berhasil merumuskan
patokan-patokan baru pada tahun 1957 setelah bekerja selama setahun.
Tindak lanjut
perjanjian persahabatan antara Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu
pada tahun 1959, antara lain berupa usaha mempersamakan ejaan bahasa kedua
negara itu. Maka pada akhir tahun 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu
(Slametmuljana-Syed Nasir bin Ismail, Ketua) menghasilkan konsep ejaan bersama
yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu- Indonesia).
Perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya mengurungkan peresmiannya.
Sesuai dengan
laju pembangunan nasional, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan yang pada tahun 1968
menjadi Lembaga Bahasa Nasional, dan akhirnya pada tahun 1975 menjadi Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, menyusun program pembakuan bahasa Indonesia
secara menyeluruh. Di dalam hubungan ini, Panitia Ejaan Bahasa Indonesia
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (A.M. Moeliono, Ketua) yang disahkan oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Sarino Mangunpranoto, sejak tahun 1966 dalam
surat keputusannya tanggal 19 September 1967, No. 062/1967, menyusun konsep
yang merangkum segala usaha penyempurnaan yang terdahulu. Konsep itu ditanggapi
dan dikaji oleh kalangan luas di seluruh tanah air selama beberapa tahun.
2.1 Perubahan-Perubahan Hingga Ditetapkannya
Ejaan yang Disempurnakan
Bahasa
Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia
dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang
digunakan sebagai lingua
franca di Nusantara
kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan
modern.
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi
diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna)
sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti
kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu
menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta,
suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran.
Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula
dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa
dan Pulau Luzon.
Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca
masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad
ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical
Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan
Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.
Laporan Portugis,
misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh
semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan
dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah
itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya
kata-kata pinjaman dari bahasa
Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama
Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid,
kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur,
cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses
penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan
pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan
informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa
Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan
sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela.
Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi,
kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga
awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel
adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang
dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa
Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan
Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan
dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu,
loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van
Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace
pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai
bahasa yang paling penting di "dunia timur". Luasnya penggunaan
bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa
perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur
dengan bahasa Portugis,
bahasa Tionghoa,
maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan
di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon,
dan Kupang.
Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa
Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa
di Batavia. Varian yang
terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar
pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian lokal ini
secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar
oleh para peneliti bahasa.
Terobosan
penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja
Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka)
menulis kamus ekabahasa untuk
bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa
yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional di
masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan
jelas.
Hingga akhir
abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu
yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak
baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki
standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi
kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari
bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan
pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai
lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki
kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam
standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah
dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan
ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai
terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal
abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat.
Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda)
mengadopsi ejaan Van
Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi
bagian dari Malaysia) di bawah Inggris
mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van
Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu
(dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi
pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur
("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini
menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah
pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan
program Taman Poestaka dengan
membentuk perpustakaan
kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah.
Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar
700 perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa
persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu
sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad
Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah.
Karena banyak
pula kekurangan yang terlihat dalam pemakaian ejaan oleh Van Ophuijsen, maka
para ahli bahasa perlu untuk menyempurnakan kembali van Ophuijsen. Dalam
Putusan Menteri Pengasdjaran Pendidikan dan Kebudajaan, 15 April 1947,
menyatakan perubahan ejaan bahasa Indonesia yang dikenal dengan nama Ejaan
Soewandi. Banyaknya reaksi untuk mengadakan kembali perubahan ejaan dengan
berbagai pertimbangan mengenai sejumlah kekurangan. Dalam Kongres Bahasa
Indonesia II di Medan yang menghasilkan berbagai keputusan yang kemudian
ditindaklanjuti pada tahun 1957 dengan konsep ejaan yang disebut Ejaan
Pembaharuan. Karena pertimbangan munculnya masalah baru yang dapat memengaruhi
perkembangan ejaan bahasa Indonesia. Maka Ejaan Pembaharuan tidak digunakan,
melainkan dengan disetujuinya perjanjian antara Republik Indonesia dengan
Persekutuan Tanah Melayu yang menghasilkan konsep ejaan bersama yang disebut
Ejaan Melindo.
Ketidaksetujuan
atas konsep Melindo karena adanya huruf baru dikemukakan oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudajaan dengan membentuk kepanitiaan dan mengusulkan konsep
baru yaitu Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) yang kemudian disahkan pada tanggal
19 September 1967 dalam Surat Keputusan No. 062/1967 oleh Menteri Pendidikan
dan Kebudajaan. Sejak itu mulai lagi usaha yang lebih pasti untuk
memasyarakatkan sistem ejaan yang baru itu, disebut Ejaan yang Disempurnakan
(EYD).
Perubahan-perubahan
ejaan yang digunakan di Indonesia ini dimaksudkan agar ejaan yang berlaku di
Indonesia semakin baik dan tentu saja lebih mudah digunakan dan lebih mudah
dimengerti. Perubahan-perubahan ini juga sejalan dengan perkembangan zaman dan
perkembangan bahasa di Indonesia. Contohnya pada ejaan republik yaitu penggunaan huruf oe diganti dengan u
pada kata-kata guru, itu, umur, dsb. Untuk lebih memahaminya berikut adalah penyempurnaa ejaan di
Indonesia.
2.2 Penyempurnaan ejaan
Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu/Indonesia mengalami beberapa tahapan
sebagai berikut:
1. Ejaan van Ophuijsen
Ejaan ini merupakan
ejaan bahasa
Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu
oleh Nawawi Soetan Ma’moer
dan Moehammad Taib
Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa
yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui
pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
- Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
- Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
- Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
- Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.
2. Ejaan Republik
Ejaan ini
diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini
juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
- Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
- Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
- Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
- Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.
3. Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)
Konsep ejaan ini
dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun
berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.
4. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)
Ejaan ini
diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik
Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972.
Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa
Malaysia, semakin dibakukan.
Perubahan:
Indonesia
(pra-1972) |
Malaysia
(pra-1972) |
Sejak 1972
|
tj
|
ch
|
c
|
dj
|
j
|
j
|
ch
|
kh
|
kh
|
nj
|
ny
|
ny
|
sj
|
sh
|
sy
|
j
|
y
|
y
|
oe*
|
u
|
u
|
I. Pemakaian huruf
1.
Huruf abjad.
Ada 26 yang masing-masing memiliki jenis huruf besar dan kecil.
2.
Huruf vokal.
Ada 5: a, e, i, o, dan u. Tanda aksen é dapat digunakan pada huruf e jika ejaan
kata menimbulkan keraguan.
3.
Huruf konsonan.
Ada 21: b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z.
- Huruf c, q, v, w, x, dan y tidak punya contoh di akhir kata.
- Huruf x tidak punya contoh di tengah kata.
- Huruf q dan x digunakan khusus untuk nama dan keperluan ilmu.
4.
Diftong.
Ada 3: ai, au, dan oi.
5.
Gabungan konsonan.
Ada 4: kh, ng, ny, dan sy.
6.
Pemenggalan kata
1. Kata
dasar
a. Di
antara dua vokal berurutan di tengah kata (diftong tidak pernah diceraikan):
ma-in.
b. Sebelum
huruf konsonan yang diapit dua vokal di tengah kata: ba-pak.
c. Di
antara dua konsonan yang berurutan di tengah kata: man-di.
d. Di
antara konsonan pertama dan kedua pada tiga konsonan yang berurutan di tengah
kata: ul-tra.
2. Kata
berimbuhan: Sesudah awalan atau sebelum akhiran: me-rasa-kan.
3. Gabungan
kata: Di antara unsur pembentuknya: bi-o-gra-fi
7.
Huruf kapital
1. Huruf
pertama pada awal kalimat
2. Huruf
pertama petikan langsung
3. Huruf
pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci,
termasuk kata ganti untuk Tuhan
4. Huruf
pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang
(tidak berlaku jika tidak diikuti nama orang)
5. Huruf
pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau pengganti
nama orang, nama instansi, atau nama tempat (tidak berlaku jika tidak diikuti
nama orang, instansi, atau tempat)
6. Huruf
pertama unsur-unsur nama orang (tidak berlaku untuk nama orang yang digunakan
sebagai nama sejenis atau satuan ukuran)
7. Huruf
pertama nama bangsa, suku, dan bahasa (tidak berlaku untuk nama bangsa, suku,
dan bahasa yang dipakai sebagai bentuk dasar kata turunan)
8. Huruf
pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah (tidak
berlaku untuk peristiwa sejarah yang tidak dipakai sebagai nama)
9. Huruf
pertama nama geografi (tidak berlaku untuk istilah geografi yang tidak menjadi
unsur nama diri dan nama geografi yang digunakan sebagai nama jenis)
10. Huruf
pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta
nama dokumen resmi kecuali kata seperti "dan" yang tidak terletak
pada posisi awal, termasuk semua unsur bentuk ulang sempurna
11. Huruf
pertama kata di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan
kecuali kata seperti "dan" yang tidak terletak pada posisi awal,
termasuk semua unsur bentuk ulang sempurna
12. Huruf
pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan. Gelar akademik:
Kepmendikbud 036/U/1993.
13. Huruf
pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak,
adik, dan paman yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan (tidak berlaku jika
tidak dipakai dalam pengacuan atau penyapaan)
14. Huruf
pertama kata ganti Anda
8.
Huruf miring
1. Nama
buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan
2. Huruf,
bagian kata, kata, atau kelompok kata yang ditegasan atau dikhususkan
3. Kata
nama ilmiah atau ungkapan asing kecuali yang telah disesuaikan ejaannya
II. Penulisan kata
1.
Kata dasar.
Ditulis sebagai satu kesatuan
2.
Kata turunan
1. Ditulis
serangkai dengan kata dasarnya: dikelola, permainan
2. Imbuhan
ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya, tapi
unsur gabungan kata ditulis terpisah jika hanya mendapat awalan atau akhiran: bertanggung
jawab, garis bawahi
3. Imbuhan
dan unsur gabungan kata ditulis serangkai jika mendapat awalan dan akhiran
sekaligus: pertanggungjawaban
4. Ditulis
serangkai jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi: adipati,
narapidana
5. Diberi
tanda hubung jika bentuk terikat diikuti oleh kata yang huruf awalnya adalah
huruf kapital: non-Indonesia
6. Ditulis
terpisah jika kata maha sebagai unsur gabungan diikuti oleh kata esa dan kata
yang bukan kata dasar: maha esa, maha pengasih
3.
Kata ulang.
Ditulis lengkap dengan tanda hubung: anak-anak, sayur-mayur
4.
Gabungan kata
1. Ditulis
terpisah antarunsurnya: duta besar, kambing hitam
2. Dapat
ditulis dengan tanda hubung untuk menegaskan pertalian di antara unsur yang
bersangkutan untuk mencegah kesalahan pengertian: alat pandang-dengar, anak-istri
saya
3. Ditulis
serangkai untuk 47 pengecualian: acapkali, adakalanya, akhirulkalam,
alhamdulillah, astagfirullah, bagaimana, barangkali,
bilamana, bismillah, beasiswa, belasungkawa, bumiputra,
daripada, darmabakti, darmasiswa, dukacita, halalbihalal,
hulubalang, kacamata, kasatmata, kepada, keratabasa,
kilometer, manakala, manasuka, mangkubumi, matahari,
olahraga, padahal, paramasastra, peribahasa, puspawarna,
radioaktif, sastramarga, saputangan, saripati, sebagaimana,
sediakala, segitiga, sekalipun, silaturahmi, sukacita,
sukarela, sukaria, syahbandar, titimangsa, wasalam
5.
Kata ganti
1. Ku
dan kau ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya: kusapa, kauberi
2. Ku,
mu, dan nya ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya: bukuku,
miliknya
6.
Kata depan.
di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang
mengikutinya, kecuali daripada, kepada, kesampingkan, keluar,
kemari, terkemuka
7.
Kata sandang.
si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya: sang
Kancil, si pengirim
8.
Partikel
1. Partikel
-lah, -kah, dan -tah ditulis serangkai dengan kata yang
mendahuluinya: betulkah, bacalah
2. Partikel
pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya: apa pun, satu
kali pun
3. Partikel
pun ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya untuk adapun,
andaipun, ataupun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun,
kendatipun, maupun, meskipun, sekalipun, sungguhpun,
walaupun
9.
Singkatan dan akronim
1. Singkatan
nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti dengan tanda
titik: A.S. Kramawijaya, M.B.A.
2. Singkatan
nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta
nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf
kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik: DPR, SMA
3. Singkatan
umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti satu tanda titik: dst.,
hlm.
4. Singkatan
umum yang terdiri atas dua huruf diikuti tanda titik pada setiap huruf: a.n.,
s.d.
5. Lambang
kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti
tanda titik: cm, Cu
6. Akronim
nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya
dengan huruf kapital: ABRI, PASI
7. Akronim
nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari
deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital: Akabri, Iwapi
8. Akronim
yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun gabungan
huruf dan suku kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil: pemilu,
tilang
10. Angka
dan lambang bilangan. Angka dipakai untuk menyatakan lambang
bilangan atau nomor yang lazimnya ditulis dengan angka Arab atau angka Romawi.
1. Fungsi
1. menyatakan
(i) ukuran panjang, berat, luas, dan isi (ii) satuan waktu (iii) nilai uang,
dan (iv) kuantitas,
2. melambangkan
nomor jalan, rumah, apartemen, atau kamar pada alamat,
3. menomori
bagian karangan dan ayat kitab suci,
2. Penulisan
1. Lambang
bilangan utuh dan pecahan dengan huruf
2. Lambang
bilangan tingkat
3. Lambang
bilangan yang mendapat akhiran -an
4. Ditulis
dengan huruf jika dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata, kecuali jika
beberapa lambang bilangan dipakai secara berurutan, seperti dalam perincian dan
pemaparan
5. Ditulis
dengan huruf jika terletak di awal kalimat. Jika perlu, susunan kalimat diubah
sehingga bilangan yang tidak dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata tidak
terdapat pada awal kalimat
6. Dapat
dieja sebagian supaya lebih mudah dibaca bagi bilangan utuh yang besar
7. Tidak
perlu ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam teks kecuali di dalam
dokumen resmi seperti akta dan kuitansi
8. Jika
bilangan dilambangkan dengan angka dan huruf, penulisannya harus tepat
III. Penulisan tanda baca
1.
Tanda titik
1. Dipakai
pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan
2. Dipakai
di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau daftar (tidak
dipakai jika merupakan yang terakhir dalam suatu deretan)
3. Dipakai
untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan waktu atau jangka
waktu
4. Dipakai
di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak berakhir dengan tanda tanya
dan tanda seru, dan tempat terbit dalam daftar pustaka
5. Dipakai
untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya (tidak dipakai jika tidak
menunjukkan jumlah)
6. Tidak
dipakai pada akhir judul yang merupakan kepala karangan atau kepala ilustrasi,
tabel, dan sebagainya
7. Tidak
dipakai di belakang (1) alamat pengirim dan tanggal surat atau (2) nama dan
alamat penerima surat
2.
Tanda koma
1. Dipakai
di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan
2. Dipakai
untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya yang
didahului oleh kata seperti tetapi atau melainkan
3. Dipakai
untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu
mendahului induk kalimatnya (tidak dipakai jika anak kalimat itu mengiringi
induk kalimatnya)
4. Dipakai
di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal
kalimat. Termasuk di dalamnya oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun
begitu, akan tetapi
5. Dipakai
untuk memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata yang lain
yang terdapat di dalam kalimat
6. Dipakai
untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat (tidak dipakai
jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru)
7. Dipakai
di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian alamat, (iii) tempat dan
tanggal, dan (iv) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan
8. Dipakai
untuk menceraikan bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar pustaka
9. Dipakai
di antara bagian-bagian dalam catatan kaki
10. Dipakai
di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya
dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga
11. Dipakai
di muka angka persepuluhan atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan
angka
12. Dipakai
untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi
13. Dapat
dipakai di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat untuk
menghindari salah baca
3.
Tanda titik koma
1. Dapat
dipakai untuk memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis dan setara
2. Dapat
dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat yang setara
di dalam kalimat majemuk
4.
Tanda titik dua
1. Dapat
dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau
pemerian (tidak dipakai jika rangkaian atau perian itu merupakan pelengkap yang
mengakhiri pernyataan)
2. Dipakai
sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian
3. Dapat
dipakai dalam teks drama sesudah kata yang menunjukkan pelaku dalam percakapan
4. Dipakai
(i) di antara jilid atau nomor dan halaman, (ii) di antara bab dan ayat dalam
kitab suci, (iii) di antara judul dan anak judul suatu karangan, serta (iv)
nama kota dan penerbit buku acuan dalam karangan
5.
Tanda hubung
1. Dipakai
untuk menyambung suku-suku kata dasar yang terpisah oleh penggantian baris
(Suku kata yang berupa satu vokal tidak ditempatkan pada ujung baris atau
pangkal baris)
2. Dipakai
untuk menyambung awalan dengan bagian kata di belakangnya atau akhiran dengan
bagian kata di depannya pada pergantian baris (Akhiran -i tidak dipenggal
supaya jangan terdapat satu huruf saja pada pangkal baris)
3. Dipakai
untuk menyambung unsur-unsur kata ulang
4. Dipakai
untuk menyambung huruf kata yang dieja satu-satu dan bagian-bagian tanggal
5. Dapat
dipakai untuk memperjelas (i) hubungan bagian-bagian kata atau ungkapan, dan
(ii) penghilangan bagian kelompok kata
6. Dipakai
untuk merangkaikan (i) se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf
kapital, (ii) ke- dengan angka, (iii) angka dengan -an, (iv) singkatan berhuruf
kapital dengan imbuhan atau kata, dan (v) nama jabatan rangkap
7. Dipakai
untuk merangkaikan unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa asing
6.
Tanda pisah
1. Dipakai
untuk membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan di luar
bangun kalimat
2. Dipakai
untuk menegaskan adanya keterangan aposisi atau keterangan yang lain sehingga
kalimat menjadi lebih jelas
3. Dipakai
di antara dua bilangan atau tanggal dengan arti 'sampai ke' atau 'sampai
dengan'
4. Dalam
pengetikan, tanda pisah dinyatakan dengan dua buah tanda hubung tanpa spasi
sebelum dan sesudahnya
7.
Tanda elipsis
1. Dipakai
dalam kalimat yang terputus-putus
2. Dipakai
untuk menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau naskah ada bagian yang
dihilangkan
3. Jika
bagian yang dihilangkan mengakhiri sebuah kalimat, perlu dipakai empat buah
titik; tiga buah untuk menandai penghilangan teks dan satu untuk menandai akhir
kalimat
8.
Tanda tanya
1. Dipakai
pada akhir kalimat tanya
2. Dipakai
di dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian kalimat yang disangsikan atau
yang kurang dapat dibuktikan kebenarannya
9.
Tanda seru
Dipakai
sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang
menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupun rasa emosi yang kuat
10. Tanda
kurung
1. mengapit
keterangan atau penjelasan
2. mengapit
keterangan atau penjelasan yang bukan bagian integral pokok pembicaraan
3. mengapit
huruf atau kata yang kehadirannya di dalam teks dapat dihilangkan
4. mengapit
angka atau huruf yang memerinci satu urutan keterangan
11. Tanda
kurung siku
1. mengapit
huruf, kata, atau kelompok kata sebagai koreksi atau tambahan pada kalimat atau
bagian kalimat yang ditulis orang lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan
atau kekurangan itu memang terdapat di dalam naskah asli
2. mengapit
keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah bertanda kurung
12. Tanda
petik
1. mengapit
petikan langsung yang berasal dari pembicaraan dan naskah atau bahan tertulis
lain
2. mengapit
judul syair, karangan, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat
3. mengapit
istilah ilmiah yang kurang dikenal atau kata yang mempunyai arti khusus
4. Tanda
petik penutup mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan langsung.
5. Tanda
baca penutup kalimat atau bagian kalimat ditempatkan di belakang tanda petik
yang mengapit kata atau ungkapan yang dipakai dengan arti khusus pada ujung
kalimat atau bagian kalimat
6. Tanda
petik pembuka dan tanda petik penutup pada pasangan tanda petik itu ditulis
sama tinggi di sebelah atas baris
13. Tanda
petik tunggal
1. mengapit
petikan yang tersusun di dalam petikan lain
2. mengapit
makna, terjemahan, atau penjelasan kata atau ungkapan asing
14. Tanda
garis miring
1. dipakai
di dalam nomor surat dan nomor pada alamat dan penandaan masa satu tahun yang
terbagi dalam dua tahun takwim
2. dipakai
sebagai pengganti kata atau, tiap
15. Tanda
penyingkat
Menunjukkan
penghilangan bagian kata atau bagian angka tahun
IV. Perubahan Kepmendiknas 46/2009
- Tambahan: Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama unsur nama seperti de, van, der, von, atau da.
- Tambahan: Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata bin dan binti (pada beberapa nama tertentu).
- Tambahan: Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama pada kata, seperti keterangan, catatan, dan misalnya
- Tambahan: Huruf tebal
2.3 Pengaruh Penggunaan Ejaan yang
Disempurnakan bagi Masyarakat Indonesia
Besarnya
pengaruh yang ditimbulkan dari penggunaan Ejaan yang Disempurnakan terhadap
masyarakat Indonesia itu sendiri. Pengaruh ini terlihat dari banyaknya pengguna
Bahasa Indonesia yang mampu menggunakan sistem Ejaan yang Disempurnakan dengan
kaidah yang telah ditetapkan. Penggunaan ejaan yang disesuiakan dengan
dasar-dasar bahasa Indonesia ini memang mengundang banyak perhatian dari
berbagai pihak, khususnya pengguna bahasa Indonesia yaitu masyarakat Indonesia.
Mengapa tidak, ini dikarenakan untuk penyesuaian ragam bahasa Indonesia yang
telah terpengaruh oleh bahasa lain. Sehingga para ahli bahasa perlu untuk
menyesuaikan kembali sistem ejaan dengan penggunaan sistem Ejaan yang
Disempurnakan.
Namun,
penggunaan sistem Ejaan yang Disempurnakan itu tidak banyak memengaruhi semua
pengguna bahasa. Karena masih banyaknya ditemukan kasus kesalahan ejaan atau
ketidaksesuaian dengan Ejaan yang Disempurnakan. Ini disebabkan masih besarnya
pengaruh sistem ejaan sebelumnya, sehingga masih banyaknya pengguna bahasa
tidak menggunakan atau tidak mengetahu sistem ejaan yang telah ditetapkan saat
ini.
Walaupun
demikian, mempelajari penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan ini sangat penting
karena walau tidak digunakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari di masyarakat,
namun EYD digunakan dalam penulisan karya-karya ilmiah seperti penulisan surat
resmi, skripsi, tesis, laporan penelitian, dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar